Di Era Jokowi Ekonomi Menurun, Pengangguran Meningkat
BACANEWS.ID - DPR RI menyoroti menurunnya pertumbuhan ekonomi dalam tiga tahun terakhir di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Trend menurunnya pertumbuhan ekonomi, bukan hanya dalam masa pandemi.
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengatakan, bahwa perekonomian Indonesia memasuki jurang resesi dan untuk pertama kalinya dalam 22 tahun terakhir. Mengulang kondisi krisis ekonomi pada tahun 1998.
Perekonomian juga stagnan. Tumbuh hanya di kisaran lima persen dengan kecenderungan menurun di tengah tekanan ekonomi global. “Pada 2020, ekonomi nasional tersungkur, baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran karena pandemi Covid-19,” katanya, Sabtu (23/1).
Ia melanjutkan, bahwa kondisi resesi berdampak serius pada melonjaknya angka pengangguran, kemiskinan hingga ketimpangan.Tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2020 melonjak menjadi 7,07 persen dari posisi 5,23 persen pada Agustus 2019.
“Jumlah pengangguran melonjak menjadi 9,77 juta pada Agustus 2020, naik dari 7,1 juta pada Agustus 2019. Pada Maret 2020 rakyat miskin meningkat sebesar 1,63 orang dari September 2019. Totalnya menjadi 26,42 juta jiwa atau 9,22 persen dari total penduduk,” paparnya.
Angka ini, juga menunjukkan peningkatan sebesar 1,28 juta jiwa terhadap angka pada Maret 2019. Garis kemiskinan pada Maret 2020 tercatat sebesar Rp454.652 per kapita per bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp335.793 (73,86 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp118.859 (26,14 persen).
“Angka Rp454.652 sebagai angka garis kemiskinan merupakan angka yang sangat kecil apalagi didominasi oleh makanan,” ujar Anis.
Legislator dari daerah pemilihan Jakarta Timur ini juga menyampaikan data bahwa menurut studi yang dilakukan Bank Dunia, masih terdapat sekitar 117 juta (70 persen) orang di Indonesia yang walaupun sudah berada di atas garis kemiskinan, namun belum benar-benar memiliki keamanan ekonomi. Dan setiap saat bisa kembali berada di bawah garis kemiskinan.
“Mengulas penyaluran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang disediakan pemerintah, bahwa eksekusi dan serapannya sangat lambat,” ungkap Anis.
Sampai akhir November 2020, kata Anis, serapan dana PEN baru sebesar 58 persen. Hal ini berdampak pada tidak optimalnya program PEN dalam meredam dampak resesi dan dampak buruk peningkatan pengangguran dan kemiskinan.
“Secara umum tersendatnya realisasi anggaran PEN dikarenakan ketidaksiapan birokrasi. Publik juga dikejutkan dengan terjadinya kasus korupsi bantuan sosial yang menguras emosi,” tandas Anis.
Anis berharap, pemerintah lebih meningkatkan koordinasi, sinergi dan kolaborasi antara kementerian lembaga sehingga mereka tidak berjalan sendiri-sendiri terutama menyangkut persoalan akuntabilitas dan pertanggungjawaban keuangan.
“Selain itu, DPR yang memiliki fungsi pengawasan perlu meningkatkan koordinasi, sinergi dan kolaborasi dengan BPK yang memiliki fungsi pemeriksaan,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebutkan realisasi anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah mencapai Rp386,01 triliun atau 55,5 persen dari total pagu sebesar Rp695,2 triliun hingga pekan kedua November 2020.
Sri Mulyani menyatakan tren penyerapan anggaran Program PEN terus mengalami perbaikan jika dilihat dari sejak semester pertama hingga Oktober tahun ini yaitu terjadi kenaikan mencapai 31,9 persen.
Ia merinci, anggaran untuk bidang kesehatan telah terealisasi Rp34,29 triliun atau 35,3 persen dari pagu Rp97,26 triliun dan perlindungan sosial terealisasi Rp182,54 triliun atau 77,9 persen dari pagu Rp234,33 triliun.
“Isu mengenai exclusion dan inclusion error masih ada, tetapi terdapat perbaikan data bottom up. Itu terus diperbaiki dengan menggunakan perbaikan data DTKS,” ujarnya.
Kemudian realisasi untuk sektoral K/L dan pemda adalah sebesar Rp32,92 triliun atau 19,9 persen dari pagu Rp65,97 triliun dan dukungan UMKM Rp95,62 triliun atau 83,3 persen dari pagu Rp114,81 triliun.
Sementara untuk realisasi insentif usaha tercatat sebesar Rp38,64 triliun atau 32 persen dari pagu Rp120,6 triliun dan pembiayaan korporasi Rp2 triliun atau 3,2 persen dari pagu Rp62,22 triliun.
Sumber: fin.co.id