Pertamina Digugat Mozambik Rp40 Triliun, Pemerintah Bertanggungjawab!
Oleh: Marwan Batubara
PADA Februari 2019 Pertamina telah menandatangani perjanjian jual beli (sale and purchase agreement, SPA) dengan Anadarko Petroleum Corporation untuk pembelian LNG dari Mozambique LNG1 Company Pte. Ltd (MLNGC). Kesepakatan berlaku untuk pengiriman LNG sebesar 1 MTPA (million ton per annum) dalam jangka waktu 20 tahun.
Belakangan masalah muncul terutama karena harga gas dunia turun dan pasokan gas/LNG dalam negeri melimpah, sehingga serapan gas domestik, termasuk untuk diekspor, tidak maksimal. Di sisi lain, setelah berlangsung hampir setahun, Pertamina tak kunjung mengeksekusi SPA, meski telah berulang kali diingatkan MLNGC. Belakangan Menteri Energi Mozambik menulis surat kepada Menteri ESDM untuk menagih komitmen Pertamina. Jika tidak, Pertamina akan dituntut membayar ganti rugi US$2,8 miliar (sekitar Rp 40 triliun).
Faktanya memang program terkait bisnis gas dan LNG yang dari awal merupakan bagian dari bisnis Pertamina, belum pernah dibatalkan manajemen Pertamina yang baru. Hal ini pun terjadi atas sepengetahuan komisaris sebagai wakil pemegang saham. Karena menyangkut uang negara hingga Rp 40 triliun, maka gugatan tersebut perlu ditinjau dan dianalisis, termasuk menelusuri siapa saja pihak-pihak yang terlibat dan siapa pula yang harus bertanggungjawab.
Sebagai perusahaan yang 100% sahamnya milik negara, tentu saja kita dan rakyat sebagai stakeholders Pertamina tidak rela membayar denda yang sangat besar. Apalagi jika hal tersebut disebabkan oleh segelintir orang yang ada di sekitar kekuasaan atau malah di dalam pemerintahan sendiri. Rakyat perlu memahami masalah ini, membahas secara transparan dan menggugat pihak-pihak yang terlibat jika terjadi pelanggaran hukum dan/atau tindak KKN.
Pengadaan LNG sejak awal pembentukan Direktorat Gas Pertamina, memang masuk dalam Rencana Jangka Panjang Pertamina yaitu sejak sekitar 2012. Impor LNG umumnya disetujui pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina setiap awal tahun. Artinya, rencana impor LNG memang akan dilakukan atas dasar telah adanya persetujuan pemerintah. Demikian halnya dengan pengadaan LNG Mozambik, telah masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina yang disetujui RUPS oleh pemegang saham pada tahun 2019.
Persetujuan pemerintah diberikan melalui wakil pemerintah yang menjabat sebagai komisaris utama dan komisaris di Pertamina saat RUPS Pertamina berlangsung. Jika ditinjau dari sisi lain, tidak mungkin Direksi Pertamina (saat itu dipimpin Nicke Widyawati) berani menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina dan merencanakan pembelian LNG tanpa persetujuan pemegang saham (Kementrian BUMN dan pemerintahan Jokowi).
Di sisi lain, secara rutin tiap tahun pemerintah melalui Kementrian ESDM menyusun dan menerbitkan neraca gas nasional, yang mencakup supply dan demand gas nasional, termasuk ekspor dan impor gas/LNG. Ternyata, rencana impor LNG dari Mozambik tersebut memang ditetapkan setelah mengacu pada ketersediaan dan konsumsi gas yang tercantum dalam neraca gas nasional yang terbit pada 2018.
Apakah gas yang diproduksi Pertamina tidak cukup? Tampaknya memang demikian. Sebab, support dari kepemilikan gas dan LNG diperlukan karena produksi natural gas yang dihasilkan anak perusahaan Pertamina tidak secara otomatis seluruhnya menjadi milik Pertamina, tetapi harus melalui pengajuan alokasi terlebih dahulu kepada pemerintah/KESDM.
Jika ditelisik lebih lanjut, volume LNG Mozambik yang akan diimpor terutama ditetapkan setelah mempertimbangkan kebutuhan Pertamina menggunakan gas untuk mengoperasikan kilang BBM dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Proyek Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1.760 MW, di Cilamaya, Jawa Barat. Kedua proyek besar tersebut akan membutuhkan gas cukup besar dan tidak dapat dipenuhi supply gas domestik. Kebutuhan ini pun ditetapkan setelah mempertimbangkan harga LNG Mozambik yang murah dan hasil kajian konsultan yang disewa pemerintah/Pertamina.
Hal lain yang perlu dicatat, pengadaan LNG sebagai bahan bakar pengganti BBM maupun pengganti bahan baku gas, merupakan salah satu syarat dari pemerintah bagi Pertamina untuk mendapatkan persetujuan investasi proyek baik untuk mengikuti tender PLTGU Jawa-1, maupun rencana pembangunan proyek RDMP yang merupakan proyek yang dipantau Presiden. Persyaratan ini dapat diartikan demikian: silakan terlibat proyek PLTGU Jawa-1 dan RDMP, asal Pertamina mau impor LNG Mazambik. Dalam hal ini mafia dan oligarki pemburu rente bisa saja terlibat.
Presiden Jokowi sendiri telah menetapkan proyek RDMP Pertamina sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PEN) sesuai Perpres No.109/2020. Pada situs Komite Percepatan Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), RDMP disebut sebagai proyek revitalisasi kilang-kilang BBM Pertamina di Cilacap, Balongan, Dumai dan Balikpapan. RDMP dijalankan bersamaan dengan proyek kilang baru, Grass Root Refinery (GRR) di Tuban. Menurut KPPIP nilai investasi proyek RDMP/GRR sekitar Rp 246 triliun.
Kembali kepada gugatan Mozambik sebesar Rp 40 triliun, tuntutan tersebut sangat potensial menjadi tanggungan Pertamina. Karena itu perlu diidentifikasi penyebab dan siapa penanggungjawabnya. Pertama, karena Pertamina memang tidak meresponse balik atau mengkonfirmasi rencana pembelian kepada pihak penjual, maka Pertamina wajar harus bertanggungjawab. Padahal response tersebut merupakan tahapan dan syarat yang harus dilalui dalam kontrak perjanjian jual beli gas/LNG. Tahapan ini merupakan hal yang rutin dilakukan oleh Direktorat Gas Pertamina sebelum dibubarkan dan Pertagas diakuisisi PGN pada 2018.
Kedua, sejak dibubarkannya Direktorat Gas Pertamina yang biasanya menangani bisnis gas/LNG, pucuk pimpinan Pertamina bisa saja tidak aware atau tidak care dengan keberdaan bisnis tersebut. Padahal bisnis gas dan LNG ini bukan hanya bisnis Pertamina tetapi juga bisnis yang menguntungkan Indonesia. Bisa saja kealpaan manajemen Pertamina ini akibat kelupaan, ketidakpedulian atau kesengajaan. Apa pun itu, akibat buruknya adalah Pertamina sangat berpotensi merugi Rp 40 triliun! Dalam hal ini, Pertamina dan pemerintah yang telah membubarkan Direktorat Gas layak pula harus bertanggungjawab.
Ketiga, untuk mencegah turunnya harga saham atau bangkrutnya PGN, pada 2018-2019 pemerintah telah membuat kebijakan mengalihkan sebagian besar bisnis gas dan LNG Pertamina ke PGN dan memaksa Pertamina menjual saham Pertagas ke PGN (pola inbreng). Lalu Direktorat Gas Pertamina dibubarkan. Pada akhirnya tidak semua bisnis gas, apalagi bisnis LNG yang sarat reputasi dan modal, dapat dialihkan dan mampu dikelola PGN dengan baik. Akibatnya sampai saat ini sejumlah bisnis gas/LNG yang dirintis dan dikelola Pertamina menjadi terbengkalai, termasuk LNG dari Mozambik.
Kebijakan pemerintah mengalihkan bisnis gas dan LNG Pertamina ke PGN, yang lebih mengutamakan pemegang saham asing dan publik di PGN ini diduga bernuansa moral hazard, dan patut diusut tuntas secara hukum. Yang jelas, akibat kebijakan ini sangat potensial membuat Pertamina harus membayar denda sekitar Rp 40 triliun dalam kontrak LNG Mozambik.
Keempat, manajemen Pertamina dan pemerintah melalui komisaris Pertamina tak kunjung mengeluarkan kebijakan dan membuat keputusan atas permasalahan LNG Mozambik yang terlanjur dibeli Pertamina. Padahal LNG tersebut belum dapat segera digunakan karena keterlambatan pembangunan kilang RDMP/GRR. Dalam hal ini, rakyat pantas menuntut pertanggungjawaban pemerintah yang gagal membuat keputusan, termasuk Komut Pertamina yang sebenarnya tidak layak secara legal menjadi Komut, terutama karena diduga terlibat berbagai kasus korupsi.
Kelima, tertundanya proyek RDMP dan rencana pembangunan kilang-kilang BBM baru tahun-tahun sebelumnya tak lepas dari peran mafia minyak yang ditengarai terus menghambat pembangunan dan revitalisasi kilang-kilang Pertamina, agar dapat terus menikmati rente impor BBM/minyak. Dalam hal ini, keterlambatan dan hambatan atas proyek RDMP pantas pula dipertanyakan kepada pemerintah, termasuk kepada Presiden Jokowi, yang pada Juli 2014 pernah berjanji akan memberantas mafia minyak.
Ternyata ketika momentumnya tiba, saat hasil audit forensik KordaMentha, yang antara lain berisi peran dan keterlibatan mafia minyak dalam impor minyak/BBM melalui Petral akan dilaporkan ke KPK, laporan justru tertahan karena tidak disetujui Presiden Jokowi. Menteri ESDM Sudirman Said mengungkap Presiden Jokowi lah yang memintanya menunda melaporkan hasil audit Petral oleh KordaMentha kepada KPK (16/2/2019). "Malam itu saya dapat pesan Presiden lewat seseorang, laporan Petral ke KPK ditunda dulu," kata Sudirman di Jakarta, 16/2/2019. Ternyata laporan ditunda hingga sekarang atau malah sudah dikubur!
Lima penyebab yang potensial membuat Pertamina merugi Rp 40 triliun di atas secara terang benderang menunjukkan besarnya pengaruh dan peran pemerintah dalam mengelola Pertamina dan bisnis migas nasional. Prinsipnya, pengelolaan tersebut tidak sesuai prinsip good corporate governance dan patut diduga bernuansa moral hazard, serta terkesan “ugal-ugalan” atau “semau gue”.
Sedikit melihat ke belakang, menjelang Pilpres 2019, Pertamina telah menjadi sapi perah dan korban intervensi kebijakan “ugal-ugalan”, sehingga harus menanggung beban subsidi BBM sekitar Rp 96 triliun (akumulasi 2017-2019). Beban subsidi ini mestinya ditanggung APBN. Namun karena pembayaran melalui APBN tidak lancar, beban subsidi tersebut telah membuat keuangan Pertamina nyaris mengalami gagal bayar (default).
Dalam kondisi APBN yang semakin bermasalah akibat pandemi Covid-19, piutang Pertamina ke pemerintah pun tak kunjung diselesaikan pemerintah. Untuk “membantu” keuangan Pertamina, pemerintah “membiarkan” Pertamina tidak menurunkan harga BBM saat harga minyak dunia turun. Harga terendah sempat menyentuh angka US$ 20 per barel pada Maret 2020. Padahal sesuai formula harga BBM yang sudah berlaku bertahun-tahun, harga BBM harus turun saat harga minyak dunia turun. Kondisi harga BBM yang turun ini pun terjadi di seluruh dunia.
Kebijakan pemerintah tidak menurunkan harga BBM sesuai peraturan dan formula harga yang diterbitkan sendiri oleh pemerintah jelas merupakan pelangggaran hukum yang serius. Akibatnya, konsumen BBM di Indonesia diperkirakan membayar lebih mahal dari yang seharusnya, yang jumlahnya sekitar Rp 40 triliun untuk periode April hingga Desember 2020. Ringkasnya, akibat kebijakan “semau gue” yang sarat kepentingan politik pencitraan Pilpres 2019, Pertamina dirugikan puluhan triliun, dan ujungnya konsumen BBM lah yang menjadi korban: harus menanggung kerugian sekitar Rp 40 triliun akibat harga BBM yang lebih mahal.
Jika akhirnya Pertamina harus menanggung kerugian membayar denda Rp 40 triliun akibat kontrak LNG Mozambik yang bermasalah, maka yang menjadi penyebab tampaknya tidak jauh berbeda dengan kasus harga BBM. Masalahnya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang bersifat semau gue dan bernuansa moral hazard. Ditambah pula oleh sikap manajemen BUMN yang ABS! Kebijakan tersebut tampaknya tak jauh dari sikap menjadikan BUMN sebagai sapi perah dan objek untuk perburuan rente.
Apakah DPR dan lembaga penegak hukum peduli? No way. Rakyat tak perlu berharap! Kasus LNG Mozambik: siap-siap merontokkan Pertamina. Tapi Pertamina bisa saja survive karena disubsidi rakyat melalui harga BBM yang tidak turun, asalkan harga minyak dunia turun signifikan. Selamat untuk mafia, pemburu rente dan “pemimpin” yang mengaku ingin memberantas mafia!
*) Penulis adalah Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS)