2 Jenderal Jadi Tersangka, Kasus ASABRI Rugikan Negara Rp 23,7 T
BACANEWS.ID - Pemeriksaan terhadap sepuluh saksi dalam perkara dugaan korupsi PT ASABRI (Persero) kemarin (1/2) berujung pada penahanan delapan orang di antaranya. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mereka sebagai tersangka.
Kasus itu diduga merugikan negara hingga Rp 23,7 triliun tersebut.
Dua tersangka merupakan mantan direktur utama (Dirut) PT ASABRI. Yakni, ARD (Adam Rachmat Damiri) dan SW (Sonny Widjaja). Keduanya adalah pensiunan TNI-AD dengan pangkat terakhir mayor jenderal (mayjen) dan letnan jenderal (letjen).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan, Adam merupakan Dirut PT ASABRI pada 2011–2016. Nama Adam Damiri terkenal di era Orde Baru karena pernah menjadi Pangdam Udayana saat konflik di Timor Timur. Adam pernah divonis 3 tahun penjara karena terbukti melanggar HAM dalam kasus penyerangan rumah Uskup Belo. Namun, dia dibebaskan di tingkat banding.Sonny menjabat Dirut PT ASABRI setelahnya, tepatnya pada 2016–2020. Setelah berstatus tersangka, Adam dan Sonny langsung ditahan penyidik. ”(Penahanan) di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung,” terang Leonard.
Selain dua mantan Dirut PT ASABRI, enam tersangka lain, antara lain, mantan direktur PT ASABRI berinisial BE dan HS. Kemudian, mantan kepala divisi investasi PT ASABRI berinisial IWS dan direktur utama PT Prima Jaringan berinisial LP. Leonard mengungkapkan bahwa empat tersangka itu ditahan di Rutan Kelas I Jambe Tigaraksa, Tangerang, Banten. Mereka ditahan selama 20 hari pertama, mulai kemarin hingga 20 Februari.
Sementara itu, dua tersangka lainnya adalah Direktur PT Hanson International Benny Tjokrosaputro dan Direktur PT Trada Alam Minera sekaligus Direktur PT Maxima Integra Heru Hidayat. Keduanya sudah lebih dulu mendekam di balik jeruji besi dalam kasus korupsi Asuransi Jiwasraya. ”Karena mereka berstatus terdakwa dalam perkara lain, penahanan tidak dilakukan,” ujar Leonard.
Kasus dugaan korupsi PT ASABRI memang ditengarai serupa dengan penyelewengan investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Pada Januari tahun lalu, saat Kejaksaan Agung menggeber penanganan kasus Jiwasraya, Menko Polhukam Mahfud MD mendapatkan informasi tentang dugaan kasus di ASABRI. Menteri BUMN Erick Thohir juga menemui Jaksa Agung ST Burhanuddin pada Desember tahun lalu terkait dengan kasus tersebut.
Kasus ASABRI kemudian ditangani penyidik Gedung Bundar (Pidana Khusus Kejagung). Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono, kasus itu juga ditangani kejaksaan karena terkait dengan kasus Jiwasraya.
Dalam keterangan kepada media kemarin, Leonard menyatakan bahwa kasus di PT ASABRI terjadi mulai 2012. Saat itu Dirut, direktur investasi dan keuangan, serta kepala divisi investasi PT ASABRI melakukan kesepakatan dengan pihak luar. ”Yang bukan konsultan investasi ataupun manajer investasi. Yaitu, HH (Heru Hidayat), BTS (Benny Tjokrosaputro), dan LP,” ungkapnya. ilik HH, BTS, dan LP. ”Dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi agar kinerja portofolio PT ASABRI terlihat seolah-olah baik,” papar Leonard.
Tidak sampai di situ, saham-saham yang sudah dibeli PT ASABRI lantas diurus HH, BTS, dan LP. Mereka memainkan saham itu seolah bernilai tinggi. ”Padahal, transaksi yang dilakukan transaksi semu serta menguntungkan pihak HH, BTS, dan LP,” ujarnya.
Sebaliknya, saham itu justru merugikan keuangan PT ASABRI. Sebab, mereka harus menjual saham-saham tersebut dengan nilai yang lebih rendah daripada saat saham tersebut dibeli. Jalan untuk menghindari kerugian akibat rendahnya nilai jual saham itu pun dimainkan lagi oleh HH, BTS, dan LP. Mereka kembali membeli saham dari PT ASABRI melalui underlying reksa dana yang lagi-lagi dikelola tiga orang tersebut.
Tidak heran, hasil pendalaman Kejagung mendapati aktivitas investasi PT ASABRI selama sekitar tujuh tahun, pada 2012–2019, dilakukan HH, BTS, dan LP. Lebih dari itu, audit keuangan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapatkan temuan mencengangkan. ”Kerugian keuangan negara sedang dihitung BPK dan untuk sementara sebesar Rp 23,7 triliun,” beber Leonard.