Bagi Amien Rais Cs, Sidang Habib R Adalah Peradilan Sesat
BACANEWS.ID - Sidang Habib Rizieq Shihab (HRS) yang digelar secara online oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur jelas telah merugikan terdakwa.
Hal ini lantaran Habib Rizieq sebagai terdakwa berada di Rumah Tahanan Bareskrim, Jakarta Selatan sementara persidangan itu sendiri diselenggarakan di PN Jakarta Timur.
Begitu tegas Dewan Penasihat Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP 3) 6 Laskar FPI, M. Amien Rais lewat keterangan resminya, Senin (22/3).
Amien Rais mengurai bahwa secara teknis persidangan online menyimpan sejumlah pekerjaan rumah yang belum diselesaikan. Salah satunya ganggungan audio secara fatal, dimana suara terdakwa tidak bisa jelas dimengerti seluruh hadirin persidangan.
“Sebaliknya bagi terdakwa, HRS, juga tidak bisa mendengar secara jelas apa yang diucapkan oleh pejabat-pejabat pengadilan di persidangan. Dus, terjadi diskoneksi antara hakim dan jaksa di satu pihak, dan terdakwa di lain pihak,” tegas Amien Rais.
Mantan ketua MPR RI itu menjelaskan bahwa secara hukum, persidangan online seperti itu adalah suatu pelanggaran hukum secara nyata (contra legem) oleh lembaga peradilan Indonesia.
Suatu pencederaan atas azas “fair trial” pada umumnya, dan secara khusus merupakan pemangkasan hak terdakwa untuk membela diri di depan persidangan.
Menurutnya, KUHAP adalah aturan main dalam beracara di pengadilan pidana. KUHAP diberlakukan dengan UU 8/1981, yang kedudukannya dalam hirarkhi perudang-undangan adalah urutan ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR.
“Sementara itu, persidangan online, diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) 4/2020, yang kedudukannya bukan saja di bawah UU, tetapi juga menurut UU 12 /2011, PERMA tidak dikenal dalam hirarkhi perundang-undangan di Indonesia,” tegasnya
PERMA hanya mempunyai kekuatan mengikat secara internal yaitu berlaku untuk lingkungan Mahkamah Agung sendiri, tidak mempunyai kekuatan mengikat jika menyangkut kepentingan umum yang melibatkan terdakwa.
Menurut KUHAP, Terdakwa harus dihadapkan ke ruang sidang secara fisik dan dalam keadaan bebas. Berarti perintah KUHAP adalah mengharuskan persidangan dilakukan secara offline dan tidak dalam keadaan ditahan.
“Untuk menyimpangi ketentuan ini, maka harus mengubah KUHAP dengan instrumen UU juga. Tidak boleh disimpangi dengan perundang-undangan selevel Perma,” tekannya.
Fakta bahwa terdakwa HRS berada di Rutan Bareskrim ketika persidangan berlangsung di PN Jakarta Timur sudah jelas menunjukkan pelanggaran nyata bahwa terdakwa disidang tidak dalam keadaan bebas.
Fakta lain, kehadiran terdakwa di ruang online di Bareskrim, dipaksa dan didorong secara fisik telah menunjukkan bahwa hak Terdakwa untuk hadir secara bebas telah dirampas oleh penyelenggara peradilan dan aparat negara.
“Kami sudah paham bahwa persidangan ini bersifat politis dari pada yuridis, sehingga kami sudah bisa memperkirakan 99 persen vonisnya adalah HRS bakal dijatuhi hukuman. Ketidakadilan ini sudah kami perhitungkan, sehingga kami tidak berharap ada vonis yang meringankan,” kata Amien Rais
“Namun ternyata bukan hanya vonisnya yang akan kita terima sebagai ketidakadilan, malah prosesnya pun merupakan kedholiman nyata. Alhasil ini semua menjadi lengkap sebagai suatu peradilan yang sesat. Lembaga peradilan telah berubah fungsi menjadi hanya sebagai Lembaga Pemidanaan!” tutupnya. (RMOL)
Hal ini lantaran Habib Rizieq sebagai terdakwa berada di Rumah Tahanan Bareskrim, Jakarta Selatan sementara persidangan itu sendiri diselenggarakan di PN Jakarta Timur.
Begitu tegas Dewan Penasihat Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP 3) 6 Laskar FPI, M. Amien Rais lewat keterangan resminya, Senin (22/3).
Amien Rais mengurai bahwa secara teknis persidangan online menyimpan sejumlah pekerjaan rumah yang belum diselesaikan. Salah satunya ganggungan audio secara fatal, dimana suara terdakwa tidak bisa jelas dimengerti seluruh hadirin persidangan.
“Sebaliknya bagi terdakwa, HRS, juga tidak bisa mendengar secara jelas apa yang diucapkan oleh pejabat-pejabat pengadilan di persidangan. Dus, terjadi diskoneksi antara hakim dan jaksa di satu pihak, dan terdakwa di lain pihak,” tegas Amien Rais.
Mantan ketua MPR RI itu menjelaskan bahwa secara hukum, persidangan online seperti itu adalah suatu pelanggaran hukum secara nyata (contra legem) oleh lembaga peradilan Indonesia.
Suatu pencederaan atas azas “fair trial” pada umumnya, dan secara khusus merupakan pemangkasan hak terdakwa untuk membela diri di depan persidangan.
Menurutnya, KUHAP adalah aturan main dalam beracara di pengadilan pidana. KUHAP diberlakukan dengan UU 8/1981, yang kedudukannya dalam hirarkhi perudang-undangan adalah urutan ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR.
“Sementara itu, persidangan online, diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) 4/2020, yang kedudukannya bukan saja di bawah UU, tetapi juga menurut UU 12 /2011, PERMA tidak dikenal dalam hirarkhi perundang-undangan di Indonesia,” tegasnya
PERMA hanya mempunyai kekuatan mengikat secara internal yaitu berlaku untuk lingkungan Mahkamah Agung sendiri, tidak mempunyai kekuatan mengikat jika menyangkut kepentingan umum yang melibatkan terdakwa.
Menurut KUHAP, Terdakwa harus dihadapkan ke ruang sidang secara fisik dan dalam keadaan bebas. Berarti perintah KUHAP adalah mengharuskan persidangan dilakukan secara offline dan tidak dalam keadaan ditahan.
“Untuk menyimpangi ketentuan ini, maka harus mengubah KUHAP dengan instrumen UU juga. Tidak boleh disimpangi dengan perundang-undangan selevel Perma,” tekannya.
Fakta bahwa terdakwa HRS berada di Rutan Bareskrim ketika persidangan berlangsung di PN Jakarta Timur sudah jelas menunjukkan pelanggaran nyata bahwa terdakwa disidang tidak dalam keadaan bebas.
Fakta lain, kehadiran terdakwa di ruang online di Bareskrim, dipaksa dan didorong secara fisik telah menunjukkan bahwa hak Terdakwa untuk hadir secara bebas telah dirampas oleh penyelenggara peradilan dan aparat negara.
“Kami sudah paham bahwa persidangan ini bersifat politis dari pada yuridis, sehingga kami sudah bisa memperkirakan 99 persen vonisnya adalah HRS bakal dijatuhi hukuman. Ketidakadilan ini sudah kami perhitungkan, sehingga kami tidak berharap ada vonis yang meringankan,” kata Amien Rais
“Namun ternyata bukan hanya vonisnya yang akan kita terima sebagai ketidakadilan, malah prosesnya pun merupakan kedholiman nyata. Alhasil ini semua menjadi lengkap sebagai suatu peradilan yang sesat. Lembaga peradilan telah berubah fungsi menjadi hanya sebagai Lembaga Pemidanaan!” tutupnya. (RMOL)