Keras! Rocky Gerung Sikat Pemerintahan Jokowi soal Perpres Investasi Miras
BACANEWS.ID - Pakar filsafat Rocky Gerung menilai dibukanya pintu investasi minuman keras mulai dari skala besar hingga eceran adalah bentuk kebodohan terkait anggaran yang dilakukan pemerintah.
Meraup pemasukan dengan mengekploitasi kearifan lokal sebagai salah satu ladang devisa.
Minuman keras itu bagian tradisi di beberapa wilayah nusantara. Itu diperlukan untuk pergaulan agar tidak kaku.
"Misalnya di tempat saya di Manado. Petani itu minum alkohol terutama di gunung-gunung agar bisa bangun pagi bekerja, untuk menaikkan spirit batin dan mempercepat metabolisme. Namun, jangan kemudian muncul anggapan mabuk-mabukan ada dalam tradisi itu. Ini kacaunya pemerintah melihat," kata Rocky Gerung di kanal YouTube pribadinya pada Senin (1/3).
Begitu juga ganja, lanjutnya, di wilayah Himalaya pada ketinggian 3.500 - 4.000 meter itu ada ladang ganja dan biasa dikonsumsi mereka karena menjadi ritus, bagian dari kepercayaan.
Namun, begitu masuk ke kota maka ganja tidak boleh dan dilarang.
"Ritual itu bagian dari local wisdom (kearifan lokal). Nah, ini pemerintah mengeksploitasi lokal wisdom itu untuk menutup kedunguan anggaran jadi yang mabuk pemerintah yang disalahin itu rakyat," tegasnya.
Soal miras, kata dia, Gubernur Papua pernah mengamuk hingga ingin membakar toko-toko yang menjual minuman beralkohol tersebut. Di Manado dan Minahasa juga terjadi kejadian serupa. Alasannya tentu saja karena berbagai kejahatan terjadi akibat miras.
"Minuman keras merajalela jadi problem kita semua karena disponsori oleh kapital yang besar," ujarnya.
Dengan dibukanya pintu investasi maka, lanjutnya, yang terjadi adalah prinsip pasar. Ada produksi maka akan ada promosi dan itu membahayakan karena kemampuan aparat untuk mengawasi lemah.
"Ini sama dengan mencari devisa dengan memabukkan orang dengan alkohol," ucapnya.
Apalagi dari sisi moral agama itu dilarang. Anehnya, tuturnya, pemerintah mengeksploitasi kearifan lokal seolah-olah ini dibenarkan untuk sebagai tambang pemasukan.
Dulu masyarakat curiga omnibus law disponsori oleh investor-investor besar termasuk investor minuman keras ini.
"Ini kan kayak zamannya Al Capone (mafia amerika), masyarakat dikondisikan agar mabuk-mabukan. Dan di dalam politik kita tahu miras bisa digunakan sebagai soft power untuk menguasai sebuah bangsa, bikin mabuk saja agar lupa beroposisi," terangnya.
Faktor itu harus dihitung sebagai variabel buruk legalisasi. Bahkan lebih dari itu mengundang investasi besar-besaran. Apalagi tidak mungkin investor itu nantinya membatasi produknya hanya untuk satu kota karena pada dasarnya ingin meraup keuntungan.
"Jadi jangan kaget kalau nanti sponsor-sponsor minuman keras di media sosial dan lainnya akan bertebaran. Mereka mengajak masyarakat untuk mengonsumsi minuman beralkohol."
"Jadi tradisi ini jangan untuk dijadikan kesempatan untuk mengeruk uang rakyat," pungkasnya. (*)
Meraup pemasukan dengan mengekploitasi kearifan lokal sebagai salah satu ladang devisa.
Minuman keras itu bagian tradisi di beberapa wilayah nusantara. Itu diperlukan untuk pergaulan agar tidak kaku.
"Misalnya di tempat saya di Manado. Petani itu minum alkohol terutama di gunung-gunung agar bisa bangun pagi bekerja, untuk menaikkan spirit batin dan mempercepat metabolisme. Namun, jangan kemudian muncul anggapan mabuk-mabukan ada dalam tradisi itu. Ini kacaunya pemerintah melihat," kata Rocky Gerung di kanal YouTube pribadinya pada Senin (1/3).
Begitu juga ganja, lanjutnya, di wilayah Himalaya pada ketinggian 3.500 - 4.000 meter itu ada ladang ganja dan biasa dikonsumsi mereka karena menjadi ritus, bagian dari kepercayaan.
Namun, begitu masuk ke kota maka ganja tidak boleh dan dilarang.
"Ritual itu bagian dari local wisdom (kearifan lokal). Nah, ini pemerintah mengeksploitasi lokal wisdom itu untuk menutup kedunguan anggaran jadi yang mabuk pemerintah yang disalahin itu rakyat," tegasnya.
Soal miras, kata dia, Gubernur Papua pernah mengamuk hingga ingin membakar toko-toko yang menjual minuman beralkohol tersebut. Di Manado dan Minahasa juga terjadi kejadian serupa. Alasannya tentu saja karena berbagai kejahatan terjadi akibat miras.
"Minuman keras merajalela jadi problem kita semua karena disponsori oleh kapital yang besar," ujarnya.
Dengan dibukanya pintu investasi maka, lanjutnya, yang terjadi adalah prinsip pasar. Ada produksi maka akan ada promosi dan itu membahayakan karena kemampuan aparat untuk mengawasi lemah.
"Ini sama dengan mencari devisa dengan memabukkan orang dengan alkohol," ucapnya.
Apalagi dari sisi moral agama itu dilarang. Anehnya, tuturnya, pemerintah mengeksploitasi kearifan lokal seolah-olah ini dibenarkan untuk sebagai tambang pemasukan.
Dulu masyarakat curiga omnibus law disponsori oleh investor-investor besar termasuk investor minuman keras ini.
"Ini kan kayak zamannya Al Capone (mafia amerika), masyarakat dikondisikan agar mabuk-mabukan. Dan di dalam politik kita tahu miras bisa digunakan sebagai soft power untuk menguasai sebuah bangsa, bikin mabuk saja agar lupa beroposisi," terangnya.
Faktor itu harus dihitung sebagai variabel buruk legalisasi. Bahkan lebih dari itu mengundang investasi besar-besaran. Apalagi tidak mungkin investor itu nantinya membatasi produknya hanya untuk satu kota karena pada dasarnya ingin meraup keuntungan.
"Jadi jangan kaget kalau nanti sponsor-sponsor minuman keras di media sosial dan lainnya akan bertebaran. Mereka mengajak masyarakat untuk mengonsumsi minuman beralkohol."
"Jadi tradisi ini jangan untuk dijadikan kesempatan untuk mengeruk uang rakyat," pungkasnya. (*)