6 Laskar Ternyata Fakir Miskin, Ketua TP3: Mana Mungkin Bisa Beli Pistol
BACANEWS.ID - Fakta baru mengenai identitas 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang tewas ditembak mati oleh polisi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada 7 Desember 2020 lalu, kini terungkap.
Ternyata, 6 orang itu tergolong fakir miskin. Salah seorang dari mereka, Muhammad Reza, bahkan hanya berpenghasilan Rp200 ribu per bulan.
Hal itu dibeberkan oleh Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Laskar FPI, Abdullah Hehamahua, dalam tayangan YouTube Ustadz Demokrasi pada 13 April 2021.
"Reza itu hansip. Rp100 ribu per bulan. Jaga parkir tempat ibadah orang India bersama 3 temannya. Jadi Reza satu bulan Rp200 ribu," ujar Abdullah.
Abdullah, yang mengaku telah mengunjungi satu per satu keluarga 6 anggota laskar FPI tersebut, menyebut bahwa kondisi rumah Reza bahkan sungguh memprihatinkan.
"Rumahnya itu pantas disebut kandang burung. Betul-betul kandang burung. Saudara-saudaranya, perempuan tiga orang sama ibunya, kalau tidur seperti ikan sarden disusun. Tidak punya dapur. WC kongsi," katanya.
Dengan kondisi ekonomi demikian, kata Abdullah, tidak mungkin Reza sanggup membeli senjata api.
“Bagaimana menurut logika, orang seperti ini bisa beli pistol?” ujarnya.
Kondisi anggota laskar FPI lain, Andi Oktavian, Muhammad Sofyan, dan lainnya, juga sama saja, menurut Abdullah.
Politis
Menurut Abdullah, kasus penembakan mati 6 anggota laskar FPI tersebut bersifat politis, alih-alih kriminal murni. Ia mengaitkan kasus tersebut dengan kepulangan Rizieq Shihab (HRS) dari Arab Saudi.
Menurut pengakuannya saat bertemu dengan HRS di Mekkah, Arab Saudi tahun 2019, saat itu pemerintah Indonesia tengah melarang HRS keluar dari Arab.
"Kenapa tiba-tiba di tahun 2020 pemerintah begitu welcome terhadap Habib Rizieq," katanya.
Bukti bahwa kasus tersebut politis, kata Abdullah, dapat dilihat dari rangkaian kegiatan FPI dan Rizieq semenjak pulang dari Arab.
"Nikahan itu aparat pemerintah tahu, intel tahu, kenapa tidak diantisipasi? Ini kan semacam dijebak. Lalu terjadi kasus pelanggaran prokes. Bayar cash Rp50 juta. Ini soal politik, karena 2017, dalam teori politik apapun, Ahok harus menang jadi gubernur," katanya.
Pelanggaran HAM Berat
Lebih lanjut, Abdullah mengatakan bahwa kasus tersebut termasuk pelanggaran HAM berat.
Menurut pengakuannya, 6 anggota laskar FPI tersebut mengalami luka yang tidak mungkin dilakukan polisi di dalam mobil.
"Saksi (mengatakan), ketika jenazah dimandikan, rata-rata ada dua peluru, sebelah kiri jantung, kemaluan dianiaya siksa, bagian belakang luka bekas, dan bagian depan luka bakar. Kalau Komnas HAM mengatakan di dalam mobil, bagaimana menganiaya di dalam mobil?" katanya.
Abdullah menyebut, polisi sendiri tanpa sadar telah mengakui bahwa anggotanya memang telah melakukan pelanggaran HAM berat. Hal tersebut terlihat di dalam berkas tuntutan pihak kepolisian.
"Dalam tuntuan kepolisian menyatakan Pasal 338 (pembunuhan) dan 351 (penganiayaan yang mengakibatkan kematian), berarti secara tanpa sadar polisi mengakui ada pelanggaran HAM berat karena ada penganiayaan," katanya.
Sebelum menyampaikan itu semua, Abdullah terlebih dahulu mengecam tindakan penembakan mati 6 anggota Laskar FPI tersebut.
"Kucing meninggal saja saya sedih. Ada yang menganiaya saya marah. Ini enam orang. Anak muda yang mempunyai potensi menjadi calon pemimpin masa depan,” katanya.
Abdullah juga mengaku bahwa semua yang ia bilang berdasarkan investigasinya sebagai wartawan.
"Saya datang sebagai wartawan. Investigasi. Saya datangi keluarga 6 orang itu. 3 orang ibunya janda. Semuanya orang miskin," katanya. []
Ternyata, 6 orang itu tergolong fakir miskin. Salah seorang dari mereka, Muhammad Reza, bahkan hanya berpenghasilan Rp200 ribu per bulan.
Hal itu dibeberkan oleh Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Laskar FPI, Abdullah Hehamahua, dalam tayangan YouTube Ustadz Demokrasi pada 13 April 2021.
"Reza itu hansip. Rp100 ribu per bulan. Jaga parkir tempat ibadah orang India bersama 3 temannya. Jadi Reza satu bulan Rp200 ribu," ujar Abdullah.
Abdullah, yang mengaku telah mengunjungi satu per satu keluarga 6 anggota laskar FPI tersebut, menyebut bahwa kondisi rumah Reza bahkan sungguh memprihatinkan.
"Rumahnya itu pantas disebut kandang burung. Betul-betul kandang burung. Saudara-saudaranya, perempuan tiga orang sama ibunya, kalau tidur seperti ikan sarden disusun. Tidak punya dapur. WC kongsi," katanya.
Dengan kondisi ekonomi demikian, kata Abdullah, tidak mungkin Reza sanggup membeli senjata api.
“Bagaimana menurut logika, orang seperti ini bisa beli pistol?” ujarnya.
Kondisi anggota laskar FPI lain, Andi Oktavian, Muhammad Sofyan, dan lainnya, juga sama saja, menurut Abdullah.
Politis
Menurut Abdullah, kasus penembakan mati 6 anggota laskar FPI tersebut bersifat politis, alih-alih kriminal murni. Ia mengaitkan kasus tersebut dengan kepulangan Rizieq Shihab (HRS) dari Arab Saudi.
Menurut pengakuannya saat bertemu dengan HRS di Mekkah, Arab Saudi tahun 2019, saat itu pemerintah Indonesia tengah melarang HRS keluar dari Arab.
"Kenapa tiba-tiba di tahun 2020 pemerintah begitu welcome terhadap Habib Rizieq," katanya.
Bukti bahwa kasus tersebut politis, kata Abdullah, dapat dilihat dari rangkaian kegiatan FPI dan Rizieq semenjak pulang dari Arab.
"Nikahan itu aparat pemerintah tahu, intel tahu, kenapa tidak diantisipasi? Ini kan semacam dijebak. Lalu terjadi kasus pelanggaran prokes. Bayar cash Rp50 juta. Ini soal politik, karena 2017, dalam teori politik apapun, Ahok harus menang jadi gubernur," katanya.
Pelanggaran HAM Berat
Lebih lanjut, Abdullah mengatakan bahwa kasus tersebut termasuk pelanggaran HAM berat.
Menurut pengakuannya, 6 anggota laskar FPI tersebut mengalami luka yang tidak mungkin dilakukan polisi di dalam mobil.
"Saksi (mengatakan), ketika jenazah dimandikan, rata-rata ada dua peluru, sebelah kiri jantung, kemaluan dianiaya siksa, bagian belakang luka bekas, dan bagian depan luka bakar. Kalau Komnas HAM mengatakan di dalam mobil, bagaimana menganiaya di dalam mobil?" katanya.
Abdullah menyebut, polisi sendiri tanpa sadar telah mengakui bahwa anggotanya memang telah melakukan pelanggaran HAM berat. Hal tersebut terlihat di dalam berkas tuntutan pihak kepolisian.
"Dalam tuntuan kepolisian menyatakan Pasal 338 (pembunuhan) dan 351 (penganiayaan yang mengakibatkan kematian), berarti secara tanpa sadar polisi mengakui ada pelanggaran HAM berat karena ada penganiayaan," katanya.
Sebelum menyampaikan itu semua, Abdullah terlebih dahulu mengecam tindakan penembakan mati 6 anggota Laskar FPI tersebut.
"Kucing meninggal saja saya sedih. Ada yang menganiaya saya marah. Ini enam orang. Anak muda yang mempunyai potensi menjadi calon pemimpin masa depan,” katanya.
Abdullah juga mengaku bahwa semua yang ia bilang berdasarkan investigasinya sebagai wartawan.
"Saya datang sebagai wartawan. Investigasi. Saya datangi keluarga 6 orang itu. 3 orang ibunya janda. Semuanya orang miskin," katanya. []