Sinyal Bahaya Penangkapan Munarman
[Editorial Koran Tempo]
Sinyal Bahaya Penangkapan Munarman
PENANGKAPAN Munarman mengungkap masalah laten dalam pemberantasan terorisme di Indonesia: minimnya akuntabilitas kerja penegak hukum. Bukan hanya itu, cara polisi menjerat bekas Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) itu juga memantik kekhawatiran tentang masa depan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia di negeri ini.
Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap Munarman pada Selasa sore, 27 April lalu. Polisi menyeret Munarman tanpa alas kaki dari rumahnya di Pamulang, Tangerang Selatan. Malam harinya, dengan mata tertutup kain hitam, dia digelandang ke markas Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk diinterogasi. Setidaknya, hingga Rabu siang keesokan harinya, polisi tak memberikan akses kepada tim pengacara Munarman untuk mendampingi kliennya dalam pemeriksaan.
Sebagai kejahatan luar biasa, terorisme memang harus diberantas. Tapi bukan berarti polisi bisa bertindak secara sewenang-wenang. Tindakan aparat penegak hukum terhadap Munarman itu jelas berlebihan. Polisi justru mengangkangi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang dengan tegas mengamanatkan perlindungan hak asasi manusia, bahkan untuk tersangka pelaku kejahatan.
Munarman bukanlah yang pertama. Dalam catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sepanjang Januari-Oktober 2018, terdapat 114 kasus dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan tindak pidana terorisme. Sebagian besar kasus tersebut bersumber dari kegiatan penangkapan yang menyalahi ketentuan. Sepanjang tahun berikutnya, Kontras juga memperkirakan sedikitnya 182 orang menjadi korban, justru oleh penindakan operasi pemberantasan terorisme.
Apalagi tudingan sebagai pelaku tindak pidana terorisme yang dialamatkan kepada Munarman masih simpang-siur. Sejauh ini polisi menyatakan pria berusia 52 tahun itu ditangkap lantaran hadir dalam aktivitas baiat Jamaah Ansharud Daulah (JAD), organisasi terlarang yang terafiliasi dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), di Jakarta, Medan, dan Makassar. Pertanyaannya, apakah seseorang yang hadir dalam kegiatan baiat semata bisa langsung ditangkap dan dicap sebagai teroris?
Terorisme, seperti diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, adalah perbuatan dan ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror, ketakutan secara meluas, serta berpotensi menimbulkan korban massal ataupun kerusakan obyek vital. Ancaman kekerasan yang dimaksudkan harus berupa perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik, ucapan, tulisan, gambar, termasuk lewat saluran elektronik. Dengan demikian, berhubungan dengan kelompok teroris saja semestinya tak serta-merta dapat menempatkan seseorang sebagai teroris. Terlebih, pemberantasan tindak pidana terorisme seharusnya dilakukan terhadap perbuatan, bukan pemikiran ataupun komitmen ideologi seseorang.
Aksi pemberantasan terorisme yang tidak transparan dan tidak akuntabel harus diakhiri. Polisi tidak boleh bergerak seolah-olah melampaui hukum dan sesuka hati menggunakan kekerasan. Tindakan semacam itu justru menurunkan kredibilitas penegakan hukum.
Kepercayaan publik terhadap hukum pula yang kini dipertaruhkan pada perkara Munarman. Posisi Munarman sebagai pentolan FPI dan orang kepercayaan Rizieq Syihab membuat banyak kalangan menganggap penangkapan ini merupakan bagian dari upaya penguasa untuk “menghabisi” mereka.
Kita tentu berharap anggapan tersebut salah. Namun, jika kekhawatiran itu kelak terbukti, resmilah Indonesia menjadi autocratic legalist: sebuah pemerintahan yang menggunakan hukum untuk menghancurkan demokrasi. Pasal-pasal antiterorisme yang multitafsir dan aksi polisi yang tak tunduk pada hukum adalah indikasi awalnya.
(Sumber: KORAN TEMPO, Kamis, 29 April 2021)