Kamrussamad: Presiden Dan Menkeu Bisa Berganti, Tapi Utang Tetap Harus Dibayar Oleh Rakyat Indonesia
BACANEWS.ID - Hantaman keras pandemi Covid-19 selama setahun lebih membuat pertumbuhan ekonomi nasional babak belur.
Pemerintah pun terus berutang kepada pihak luar negeri untuk menambal kekurangan akibat merosotnya pemasukan negara dari berbagai sektor.
Kondisi ini membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kian khawatir utang negara tidak bisa dibayarkan dalam waktu yang singkat.
Pasalnya, utang Indonesia pada 2020 saja telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR), yakni rasio debt service terhadap penerimaan negara sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 persen sampai 35 persen.
Makin bertumpuknya utang ini membuat anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad, mempertanyakan semangat Menteri Keuangan Sri Mulyani perihal spending better yang seakan terabaikan.
"Tagline spending better Menkeu terabaikan?” ucap Kamrussamad kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (23/6).
Politikus Partai Gerindra ini menambahkan, perencanaan dan pengelolaan pinjaman/utang yang bersumber dari luar negeri, dalam negeri, SBN (SUN & SBSN), serta sumber lainnya harus dikelola secara pruden atau hati-hati.
"Karena menyangkut beban rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Banyak kalangan berpendapat bahwa utang negara yang menumpuk ini akan menjadi beban berat yang harus dipikul oleh pemerintah selanjutnya. Sehingga pemerintah saat ini harus memikirkan dengan baik cara membayarkan utang-utangnya jangan sampai membebani rakyat Indonesia.
"Presiden dan Menteri Keuangan bisa berganti tapi utang tetaplah harus dibayar oleh Rakyat Indonesia,” tegasnya.
Tak hanya itu, Legislator asal DKI Jakarta ini juga mengatakan, pemerintah bersama BPK dan BPKP serta KPK harus memeriksa potensi korupsi dalam pengelolaan utang negara.
“Seperti dugaan adanya calo utang menarik sejumlah fee tertentu pada setiap pinjaman. Spending Better yang menjadi tagline Kementerian Keuangan harus dibuktikan outcome-nya,” tandasnya. (RMOL)
Pemerintah pun terus berutang kepada pihak luar negeri untuk menambal kekurangan akibat merosotnya pemasukan negara dari berbagai sektor.
Kondisi ini membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kian khawatir utang negara tidak bisa dibayarkan dalam waktu yang singkat.
Pasalnya, utang Indonesia pada 2020 saja telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR), yakni rasio debt service terhadap penerimaan negara sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 persen sampai 35 persen.
Makin bertumpuknya utang ini membuat anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad, mempertanyakan semangat Menteri Keuangan Sri Mulyani perihal spending better yang seakan terabaikan.
"Tagline spending better Menkeu terabaikan?” ucap Kamrussamad kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (23/6).
Politikus Partai Gerindra ini menambahkan, perencanaan dan pengelolaan pinjaman/utang yang bersumber dari luar negeri, dalam negeri, SBN (SUN & SBSN), serta sumber lainnya harus dikelola secara pruden atau hati-hati.
"Karena menyangkut beban rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Banyak kalangan berpendapat bahwa utang negara yang menumpuk ini akan menjadi beban berat yang harus dipikul oleh pemerintah selanjutnya. Sehingga pemerintah saat ini harus memikirkan dengan baik cara membayarkan utang-utangnya jangan sampai membebani rakyat Indonesia.
"Presiden dan Menteri Keuangan bisa berganti tapi utang tetaplah harus dibayar oleh Rakyat Indonesia,” tegasnya.
Tak hanya itu, Legislator asal DKI Jakarta ini juga mengatakan, pemerintah bersama BPK dan BPKP serta KPK harus memeriksa potensi korupsi dalam pengelolaan utang negara.
“Seperti dugaan adanya calo utang menarik sejumlah fee tertentu pada setiap pinjaman. Spending Better yang menjadi tagline Kementerian Keuangan harus dibuktikan outcome-nya,” tandasnya. (RMOL)