Ustadz Adi Hidayat Temui Kabareskrim, INI YANG DIBICARAKAN
Oleh: Fahd Pahdepie (Jubir UAH)
Siang itu (Kamis, 10/6/2021) kami diundang bertamu ke ruangan Kabareskrim Polri Komjen Polisi Agus Andrianto. Saat pintu terbuka, Komjen Agus menyambut dengan hangat. Kami pun dipersilakan duduk melingkar di meja kayu yang gagah.
Tak butuh waktu lama, kami terlibat dalam suasana diskusi yang hangat. Penuh keakraban. Dimulai dengan saling menyapa kabar, obrolan terus bergerak ke persoalan-persoalan besar tentang bangsa dan negara.
“Sekarang sedang sibuk apa, Pak Ustadz?” Tanya Komjen Agus di sela-sela diskusi kami.
UAH lantas menceritakan aktivitasnya akhir-akhir ini untuk membantu memberikan penjelasan mengenai kisruh masalah pembatalan haji.
“Alhamdulillah kemarin sudah didudukkan bersama MUI, BPKH, hingga Dubes Arab Saudi. Insya Allah melalui dialog dan informasi yang diberikan secara jelas, masyarakat akan mengerti dan memahami. Yang kita butuhkan adalah komunikasi yang jernih, Pak Jendral.” Jelas UAH.
Dengan senyum khasnya, Pak Agus mengiyakan dan mengangguk setuju. Ia pun menjelaskan bagaimana selama ini kerja-kerja besar kepolisian kadang dipersulit oleh debat dan polemik yang keruh di media sosial. Padahal tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kasus Paul Joseph Zhang, misalnya,” Pak Agus mulai bercerita, “Kami terus buru hingga melibatkan interpol. Kami sudah melakukan pencabutan paspor yang bersangkutan, hingga menerbitkan red notice. Tapi memang ada aturan-aturan internasional yang membatasi. Informasi awal yang kami terima dia tinggal di Jerman. Sekarang tinggal di Belanda, negara yang kita tahu sering menjadi tempat pelarian orang-orang seperti ini. Karena di sana memang dilindungi oleh undang-undang di negaranya. Salman Rushdie juga di sana, kan? Namun bagaimanapun kepolisian terus mengerjakan tugasnya semaksimal mungkin.” Ujarnya.
UAH menanggapi cerita itu dengan pengalamannya tinggal di luar negeri, memang tidak sesederhana yang orang pahami. Ada batasan-batasan yang melekat pada satu negara yang kadang tak mudah untuk dikompromikan, apalagi dalam kasus-kasus sensitif semacam polemik yang melibatkan isu agama. “Insya Allah saya akan bantu jelaskan. Saya percaya kepolisian sudah bekerja semaksimal mungkin dan terus mengupayakan yang terbaik.” Ujar UAH.
“Memang berbeda kalau Ustadz yang menjelaskan.” Sambut Pak Agus.
Diskusi kemudian bergerak ke persoalan-persoalan lain. Tentang bagaimana kesalahpahaman sering terjadi di tengah-tengah masyarakat akibat pihak-pihak tertentu yang mencitrakan negatif kepada satu sama lain. Termasuk kepolisian. “Padahal Polisi pasti bergerak dan bertindak berdasarkan objektivitas.” Kata Pak Agus. Kami menyetujui, memang seharusnya demikian.
Di tengah segala kisruh yang ada, rasanya negara memang perlu hadir untuk menjadi penengah yang arif. Tetapi di saat yang bersamaan, posisi negara juga jangan dihakimi dulu, dicurigai, dinyinyiri, dan seterusnya. Karena pada dasarnya yang mengikat kita semua adalah undang-undang dan koridor hukum yang berlaku. Kita patuh dan tunduk pada semua itu.
Sinergi yang baik antar semua pihak adalah sesuatu yang paling dibutuhkan bangsa hari ini. Semua harus bergerak pada satu tujuan mulia yang sama, berkolaborasi dalam satu frekuensi kebaikan yang sama, terhubung satu sama lain dengan jembatan rasa yang sama, yakni rasa cinta pada bangsa dan negara ini.
“Apa yang bisa saya bantu, Pak Ustadz?” Tanya Pak Kabareskrim.
UAH tersenyum, “Justru saya yang perlu bertanya, apa yang bisa saya bantu?” Timpal UAH.
Di tengah segala hal yang mungkin terjadi, UAH memang selalu melihat dari dimensi yang lain. “Selalu ada hikmah besar yang patut kita syukuri,” katanya. “Allah sebenarnya sedang membimbing kita pada satu perjalanan yang memperkaya pengalaman, ilmu dan menambah keimanan kita.”
“Nah, itu bedanya Ustadz sama Polisi.” Timpal Pak Agus, diiringi tawanya yang renyah. “Kalau kita yang bukan Ustadz, kadang maunya memberi pelajaran.” Kami semua tertawa. UAH tersenyum.
“Kalau saya perspektifnya bangsa dan negara. Itu yang saya pikirkan. Adi Hidayat dikatakan apapun, dihina, atau diperlakukan bagaimanapun, Insya Allah tidak menjadi kecemasan saya. Tapi kalau bangsa ini terus dibawa ke situasi yang penuh kecurigaan, perpecahan, itu yang harus kita cegah bersama.” Ujar UAH.
Hari itu, diskusi berlangsung panjang. Hampir 1,5 jam kami di ruangan itu. Visi besarnya tentang bangsa dan negara. Tentang sinergi membangun kesalingpahaman untuk kemaslahatan yang lebih besar. Tentang negara yang tidak boleh dibentur-benturkan dengan Islam. Tentang bangsa besar yang sebenarnya akan lebih istimewa jika semua anak bangsa bersatu dan bekerjasama dalam kebaikan.
Sampai di titik ini, saya belajar banyak hal. Memang cara pandang kita kadang berbeda dengan cara pandang seorang alim yang hidupnya dituntun oleh al-Quran. Sampai di sini saja, ada begitu banyak hikmah yang saya peroleh. Masyarakat dibukakan matanya tentang sesuatu yang nyata, tentang pentingnya akhlak, tentang bangsa yang bosan dengan kecurigaan-kecurigaan, sikap nyinyir, dan provokasi yang memecah belah.
Dalam perjalanan berikutnya, entah apalagi yang akan saya pelajari. Tapi saya akan terus belajar. Termasuk cara mengabaikan apa kata orang tentang kita, tentang semua yang kita pilih, putuskan, dan lakukan. Sebab benar kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Tak perlu bersikeras menjelaskan siapa dirimu, karena orang yang mencintaimu tak butuh itu dan yang membencimu tak akan percaya itu.”
Saya hanya bercerita.
Tabik!
Siang itu (Kamis, 10/6/2021) kami diundang bertamu ke ruangan Kabareskrim Polri Komjen Polisi Agus Andrianto. Saat pintu terbuka, Komjen Agus menyambut dengan hangat. Kami pun dipersilakan duduk melingkar di meja kayu yang gagah.
Tak butuh waktu lama, kami terlibat dalam suasana diskusi yang hangat. Penuh keakraban. Dimulai dengan saling menyapa kabar, obrolan terus bergerak ke persoalan-persoalan besar tentang bangsa dan negara.
“Sekarang sedang sibuk apa, Pak Ustadz?” Tanya Komjen Agus di sela-sela diskusi kami.
UAH lantas menceritakan aktivitasnya akhir-akhir ini untuk membantu memberikan penjelasan mengenai kisruh masalah pembatalan haji.
“Alhamdulillah kemarin sudah didudukkan bersama MUI, BPKH, hingga Dubes Arab Saudi. Insya Allah melalui dialog dan informasi yang diberikan secara jelas, masyarakat akan mengerti dan memahami. Yang kita butuhkan adalah komunikasi yang jernih, Pak Jendral.” Jelas UAH.
Dengan senyum khasnya, Pak Agus mengiyakan dan mengangguk setuju. Ia pun menjelaskan bagaimana selama ini kerja-kerja besar kepolisian kadang dipersulit oleh debat dan polemik yang keruh di media sosial. Padahal tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kasus Paul Joseph Zhang, misalnya,” Pak Agus mulai bercerita, “Kami terus buru hingga melibatkan interpol. Kami sudah melakukan pencabutan paspor yang bersangkutan, hingga menerbitkan red notice. Tapi memang ada aturan-aturan internasional yang membatasi. Informasi awal yang kami terima dia tinggal di Jerman. Sekarang tinggal di Belanda, negara yang kita tahu sering menjadi tempat pelarian orang-orang seperti ini. Karena di sana memang dilindungi oleh undang-undang di negaranya. Salman Rushdie juga di sana, kan? Namun bagaimanapun kepolisian terus mengerjakan tugasnya semaksimal mungkin.” Ujarnya.
UAH menanggapi cerita itu dengan pengalamannya tinggal di luar negeri, memang tidak sesederhana yang orang pahami. Ada batasan-batasan yang melekat pada satu negara yang kadang tak mudah untuk dikompromikan, apalagi dalam kasus-kasus sensitif semacam polemik yang melibatkan isu agama. “Insya Allah saya akan bantu jelaskan. Saya percaya kepolisian sudah bekerja semaksimal mungkin dan terus mengupayakan yang terbaik.” Ujar UAH.
“Memang berbeda kalau Ustadz yang menjelaskan.” Sambut Pak Agus.
Diskusi kemudian bergerak ke persoalan-persoalan lain. Tentang bagaimana kesalahpahaman sering terjadi di tengah-tengah masyarakat akibat pihak-pihak tertentu yang mencitrakan negatif kepada satu sama lain. Termasuk kepolisian. “Padahal Polisi pasti bergerak dan bertindak berdasarkan objektivitas.” Kata Pak Agus. Kami menyetujui, memang seharusnya demikian.
Di tengah segala kisruh yang ada, rasanya negara memang perlu hadir untuk menjadi penengah yang arif. Tetapi di saat yang bersamaan, posisi negara juga jangan dihakimi dulu, dicurigai, dinyinyiri, dan seterusnya. Karena pada dasarnya yang mengikat kita semua adalah undang-undang dan koridor hukum yang berlaku. Kita patuh dan tunduk pada semua itu.
Sinergi yang baik antar semua pihak adalah sesuatu yang paling dibutuhkan bangsa hari ini. Semua harus bergerak pada satu tujuan mulia yang sama, berkolaborasi dalam satu frekuensi kebaikan yang sama, terhubung satu sama lain dengan jembatan rasa yang sama, yakni rasa cinta pada bangsa dan negara ini.
“Apa yang bisa saya bantu, Pak Ustadz?” Tanya Pak Kabareskrim.
UAH tersenyum, “Justru saya yang perlu bertanya, apa yang bisa saya bantu?” Timpal UAH.
Di tengah segala hal yang mungkin terjadi, UAH memang selalu melihat dari dimensi yang lain. “Selalu ada hikmah besar yang patut kita syukuri,” katanya. “Allah sebenarnya sedang membimbing kita pada satu perjalanan yang memperkaya pengalaman, ilmu dan menambah keimanan kita.”
“Nah, itu bedanya Ustadz sama Polisi.” Timpal Pak Agus, diiringi tawanya yang renyah. “Kalau kita yang bukan Ustadz, kadang maunya memberi pelajaran.” Kami semua tertawa. UAH tersenyum.
“Kalau saya perspektifnya bangsa dan negara. Itu yang saya pikirkan. Adi Hidayat dikatakan apapun, dihina, atau diperlakukan bagaimanapun, Insya Allah tidak menjadi kecemasan saya. Tapi kalau bangsa ini terus dibawa ke situasi yang penuh kecurigaan, perpecahan, itu yang harus kita cegah bersama.” Ujar UAH.
Hari itu, diskusi berlangsung panjang. Hampir 1,5 jam kami di ruangan itu. Visi besarnya tentang bangsa dan negara. Tentang sinergi membangun kesalingpahaman untuk kemaslahatan yang lebih besar. Tentang negara yang tidak boleh dibentur-benturkan dengan Islam. Tentang bangsa besar yang sebenarnya akan lebih istimewa jika semua anak bangsa bersatu dan bekerjasama dalam kebaikan.
Sampai di titik ini, saya belajar banyak hal. Memang cara pandang kita kadang berbeda dengan cara pandang seorang alim yang hidupnya dituntun oleh al-Quran. Sampai di sini saja, ada begitu banyak hikmah yang saya peroleh. Masyarakat dibukakan matanya tentang sesuatu yang nyata, tentang pentingnya akhlak, tentang bangsa yang bosan dengan kecurigaan-kecurigaan, sikap nyinyir, dan provokasi yang memecah belah.
Dalam perjalanan berikutnya, entah apalagi yang akan saya pelajari. Tapi saya akan terus belajar. Termasuk cara mengabaikan apa kata orang tentang kita, tentang semua yang kita pilih, putuskan, dan lakukan. Sebab benar kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Tak perlu bersikeras menjelaskan siapa dirimu, karena orang yang mencintaimu tak butuh itu dan yang membencimu tak akan percaya itu.”
Saya hanya bercerita.
Tabik!