Utang Menumpuk, Petinggi MUI Mewanti-wanti Jangan Sampai Indonesia Tidak Dipercaya Negara Lain
BACANEWS.ID - Utang Indonesia telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) yakni rasio debt service terhadap penerimaan negara sebesar 46,77persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 persen sampai 35 persen.
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mengkhawatirkan Indonesia tidak mampu membayarkan utang yang sudah menumpuk.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Anwar Abbas mengatakan, kekhawatiran BPK tersebut tentu didasarkan kepada data-data dan alasan-alasan yang bisa dipertanggung jawabkan.
"Oleh karena itu masalah ini harus menjadi concern atau perhatian kita semua, karena kalau Indonesia ternyata nanti memang terbukti tidak mampu membayar utang luar negerinya, maka hal demikian tentu jelas akan menimbulkan dampak dan masalah besar bagi negeri ini," ujar Anwar kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (23/6).
Ekonom MUI ini menambahkan, dengan adanya rasa kekhawatiran Indonesia tidak mampu membayarkan utang, dia juga khawatir Indonesia tidak akan dipercaya dengan negara-negara lain.
"Negara kita tidak lagi dipercaya oleh negara-negara lain di dunia terutama oleh negara-negara maju," imbuh Anwar mewanti-wanti.
Selain itu, jika Indonesia tidak mengelola dengan baik utangnya, maka investor yang datang dari luar negeri tidak akan mau menanam investasinya di Indonesia.
"Para investor tentu tidak lagi ada yang mau datang untuk berinvestasi di negara kita karena negara kita menurut mereka tidak lagi baik dan aman untuk berinvestasi. Dan kalau itu yang terjadi, tentu dampak turunannya terhadap pengangguran dan pendapatan serta kemiskinan tentu tidak dapat dihindari," kata Anwar.
Menurutnya, kalau tidak cepat dicari solusi terbaik, Indonesia akan malu di mata negara lain, lantaran menjadi salah satu negara yang memiliki utang yang sangat tinggi.
"Dalam pergaulan internasional, kita tentu akan sangat malu sekali dengan negara-negara lain sehingga kata-kata dan sikap kita terhadap suatu masalah tidak lagi di dengar oleh negara-negara lain," ucap Anwar.
Selasa kemarin (22/6), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.
Melihat data tersebut, Ketua BPK, Agung Firman Sampurna mengaku khawatir pemerintah tidak mampu untuk membayarnya.
BPK melaporkan, realisasi pendapatan negara dan hibah tahun 2020 sebesar Rp 1.647,78 triliun atau mencapai 96,93 persen dari anggaran. Sementara itu, realisasi belanja negara sebesar Rp 2.595,48 triliun atau mencapai 94,75 persen dari anggaran.
Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp 947,70 triliun atau 6,14 persen dari PDB.
Utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun pada tahun 2020. Jumlah utang ini naik tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2019, yaitu Rp 4.778 triliun. (RMOL)
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mengkhawatirkan Indonesia tidak mampu membayarkan utang yang sudah menumpuk.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Anwar Abbas mengatakan, kekhawatiran BPK tersebut tentu didasarkan kepada data-data dan alasan-alasan yang bisa dipertanggung jawabkan.
"Oleh karena itu masalah ini harus menjadi concern atau perhatian kita semua, karena kalau Indonesia ternyata nanti memang terbukti tidak mampu membayar utang luar negerinya, maka hal demikian tentu jelas akan menimbulkan dampak dan masalah besar bagi negeri ini," ujar Anwar kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (23/6).
Ekonom MUI ini menambahkan, dengan adanya rasa kekhawatiran Indonesia tidak mampu membayarkan utang, dia juga khawatir Indonesia tidak akan dipercaya dengan negara-negara lain.
"Negara kita tidak lagi dipercaya oleh negara-negara lain di dunia terutama oleh negara-negara maju," imbuh Anwar mewanti-wanti.
Selain itu, jika Indonesia tidak mengelola dengan baik utangnya, maka investor yang datang dari luar negeri tidak akan mau menanam investasinya di Indonesia.
"Para investor tentu tidak lagi ada yang mau datang untuk berinvestasi di negara kita karena negara kita menurut mereka tidak lagi baik dan aman untuk berinvestasi. Dan kalau itu yang terjadi, tentu dampak turunannya terhadap pengangguran dan pendapatan serta kemiskinan tentu tidak dapat dihindari," kata Anwar.
Menurutnya, kalau tidak cepat dicari solusi terbaik, Indonesia akan malu di mata negara lain, lantaran menjadi salah satu negara yang memiliki utang yang sangat tinggi.
"Dalam pergaulan internasional, kita tentu akan sangat malu sekali dengan negara-negara lain sehingga kata-kata dan sikap kita terhadap suatu masalah tidak lagi di dengar oleh negara-negara lain," ucap Anwar.
Selasa kemarin (22/6), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.
Melihat data tersebut, Ketua BPK, Agung Firman Sampurna mengaku khawatir pemerintah tidak mampu untuk membayarnya.
BPK melaporkan, realisasi pendapatan negara dan hibah tahun 2020 sebesar Rp 1.647,78 triliun atau mencapai 96,93 persen dari anggaran. Sementara itu, realisasi belanja negara sebesar Rp 2.595,48 triliun atau mencapai 94,75 persen dari anggaran.
Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp 947,70 triliun atau 6,14 persen dari PDB.
Utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun pada tahun 2020. Jumlah utang ini naik tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2019, yaitu Rp 4.778 triliun. (RMOL)