BEM KM UNY: Pemerintah Bereaksi Cepat Kerahkan Buzzer
BACANEWS.ID - Badan Eksekutif Mahasiswa KM Universitas Negeri Yogyakarta (BEM KM UNY) memberikan sikap menyikapi situasi demokrasi di Indonesia. Ketua BEM KM UNY, Mutawakkil Hidayatullah menuturkan, pemerintah seperti kebakaran jenggot menyikapi kritikan BEM Universitas Indonesia (UI).
"Panik gak? Panik gak? Paniklah masa enggak! Panik, kata yang bisa menggambarkan situasi pemerintah dan rektorat UI saat ini ketika kritik BEM UI atas kinerja pemerintah viral ke permukaan," kata Mutawakkil dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (29/6).
Mutawakkil menyinggung kritikan BEM UI yang membuat meme berisi kritikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan memberi julukan The King of Lip Service. Menurut dia, kritik itu muncul karena kebijakan dan perkataan Jokowi yang dilontarkan berbeda dengan yang terjadi di lapangan.
"Bak kebakaran jenggot, pemerintah bereaksi cepat dengan mengerahkan simpatisan (buzzer) untuk mengkonter narasi kritik dari BEM UI dengan nada-nada 'tidak etis', 'kurang tata krama', 'mahasiswa kok gini', 'presiden itu simbol negara', dan lain-lain, juga dengan ancaman akan dilaporkan dengan UU ITE," ujar Mutawakkil.
Dia menyinggung, rektorat UI yang merespon kritik BEM secara reaktif dengan memanggil pengurus BEM UI pada hari libur untuk meminta klarifikasi, jelas tidak tepat. "Padahal di hari tersebut kampus sedang libur, kenapa tidak menunggu hari Senin saja? Apakah ini bukan sebuah kepanikan?" kata Mutawakkil.
Dia melanjutkan, reaksi panik dari simpatisan dan buzzer pemerintah maupun rektorat UI menandakan ada pencederaan kebebasan akademi, yaitu kebebasan sebebas-bebasnya di lingkup akademis. Ketika kritik dilontarkan mahasiswa, sambung dia, pemerintah dan rektorat langsung menggunakan kekuasaannya untuk menakut-nakuti.
"Hal itu sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi. Meskipun reformasi telah berjalan 23 tahun, tetapi kebebasan berpendapat dan berekspresi masih rentan diintervensi jalur represif oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Jika hal ini masih berlanjut, maka lingkup akademik benar-benar darurat akal sehat," ucap Mutawakkil.
Dia menjelaskan, pemerintah dan rektorat UI tidak seharusnya menggunakan cara represif untuk menyelesaikan persoalan kemahasiswaan. Mutawakkil menyebut, cara itu sangat primitif.
"Tidak semua penyelesaian persoalan diselesaikan dengan jalur hukum jika hanya terkait ranah kritik dan berpendapat. Hal itu tidak menyelesaikan masalah, justru terlihat mengamputasi ranah kebebasan. Jika ruang-ruang berpendapat dan berekspresi semakin menyusut, lalu apa lagi yang diharapkan dari kampus sebagai benteng terakhir demokrasi," kata Mutawakkil mengugat.
"Kami bersolidaritas sebagai mahasiswa Indonesia dan rakyat Indonesia atas sikap beraninya atas sikap beraninya BEM UI untuk tegas mengkritik pemerintah, khusunya Presiden Jokowi selaku presiden Indonesia," ucap Mutawakkil melanjutkan. []
"Panik gak? Panik gak? Paniklah masa enggak! Panik, kata yang bisa menggambarkan situasi pemerintah dan rektorat UI saat ini ketika kritik BEM UI atas kinerja pemerintah viral ke permukaan," kata Mutawakkil dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (29/6).
Mutawakkil menyinggung kritikan BEM UI yang membuat meme berisi kritikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan memberi julukan The King of Lip Service. Menurut dia, kritik itu muncul karena kebijakan dan perkataan Jokowi yang dilontarkan berbeda dengan yang terjadi di lapangan.
"Bak kebakaran jenggot, pemerintah bereaksi cepat dengan mengerahkan simpatisan (buzzer) untuk mengkonter narasi kritik dari BEM UI dengan nada-nada 'tidak etis', 'kurang tata krama', 'mahasiswa kok gini', 'presiden itu simbol negara', dan lain-lain, juga dengan ancaman akan dilaporkan dengan UU ITE," ujar Mutawakkil.
Dia menyinggung, rektorat UI yang merespon kritik BEM secara reaktif dengan memanggil pengurus BEM UI pada hari libur untuk meminta klarifikasi, jelas tidak tepat. "Padahal di hari tersebut kampus sedang libur, kenapa tidak menunggu hari Senin saja? Apakah ini bukan sebuah kepanikan?" kata Mutawakkil.
Dia melanjutkan, reaksi panik dari simpatisan dan buzzer pemerintah maupun rektorat UI menandakan ada pencederaan kebebasan akademi, yaitu kebebasan sebebas-bebasnya di lingkup akademis. Ketika kritik dilontarkan mahasiswa, sambung dia, pemerintah dan rektorat langsung menggunakan kekuasaannya untuk menakut-nakuti.
"Hal itu sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi. Meskipun reformasi telah berjalan 23 tahun, tetapi kebebasan berpendapat dan berekspresi masih rentan diintervensi jalur represif oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Jika hal ini masih berlanjut, maka lingkup akademik benar-benar darurat akal sehat," ucap Mutawakkil.
Dia menjelaskan, pemerintah dan rektorat UI tidak seharusnya menggunakan cara represif untuk menyelesaikan persoalan kemahasiswaan. Mutawakkil menyebut, cara itu sangat primitif.
"Tidak semua penyelesaian persoalan diselesaikan dengan jalur hukum jika hanya terkait ranah kritik dan berpendapat. Hal itu tidak menyelesaikan masalah, justru terlihat mengamputasi ranah kebebasan. Jika ruang-ruang berpendapat dan berekspresi semakin menyusut, lalu apa lagi yang diharapkan dari kampus sebagai benteng terakhir demokrasi," kata Mutawakkil mengugat.
"Kami bersolidaritas sebagai mahasiswa Indonesia dan rakyat Indonesia atas sikap beraninya atas sikap beraninya BEM UI untuk tegas mengkritik pemerintah, khusunya Presiden Jokowi selaku presiden Indonesia," ucap Mutawakkil melanjutkan. []