KPK Didesak Tuntut Seumur Hidup Penjara Juliari Batubara
BACANEWS.ID - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menuntut maksimal dengan hukuman seumur hidup penjara, kepada mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara dalam persidangan perkara dugaan suap pengadaan bantuan sosial Covid-19. Perkara dugaan suap bansos yang menjerat Juliari akan masuk pada tahap penuntutan.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyampaikan, ada empat alasan sebelum tiba pada desakan tersebut. Pertama, saat melakukan kejahatan, Juliari mengemban jabatan sebagai pejabat publik.
“Maka, berdasarkan Pasal 52 KUHP, pemberatan hukuman mesti diakomodir oleh jaksa penuntut umum,” kata Kurnia dalam keterangannya, Selasa (27/7).
Kedua, Juliari melakukan praktik suap-menyuap di tengah kondisi wabah Covid-19 sedang melanda Indonesia. Praktik culas ini tentu tidak bisa dimaafkan, dapat dibayangkan, kala itu, empat hari sebelum operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada1 Desember 2020, setidaknya 543 ribu orang telah terinfeksi Covid-19 dan 17 ribu nyawa melayang.
Tidak hanya itu, Indonesia pun resmi resesi pada awal November. Sebagai Menteri Sosial, tentu Juliari memahami situasi tersebut,” ucap Kurnia.
Ketiga, saat proses persidangan berlangsung, Juliari belum pernah sekali pun mengakui perbuatannya. Padahal, pengadilan telah memutus bersalah pihak penyuap Juliari, salah satunya Ardian Iskandar.
Keempat, korupsi yang dilakukan Juliari langsung berdampak pada masyarakat. Mulai dari tidak mendapatkan bansos, kualitas bahan makanan buruk, hingga kuantitas penerimaan berbeda dengan masyarakat lain.
“Berangkat dari poin-poin di atas, jika KPK menuntut rendah Juliari, maka dugaan publik selama ini terkonfirmasi, yakni KPK ingin melindungi pelaku korupsi bansos,” tegas Kurnia.
Berdasarkan catatan ICW, proses penanganan korupsi bansos di KPK dapat dikategorikan sangat buruk. Betapa tidak, indikasi KPK akan melokalisir perkara agar berhenti pada Juliari sangat kuat.
” KPK sangat lambat memanggil beberapa politisi sebagai saksi. Padahal, politisi tersebut, berdasarkan fakta persidangan, menguasai 1,4 juta paket pada setiap tahapan, yakni Herman Herry 1 juta paket dan Ihsan Yunus 400 ribu paket,” ujar Kurnia.
Dia pun berujar, proses penggeledahan KPK seringkali tidak menghasilkan temuan apapun. Dugaannya mengerucut pada dua hal, yaitu kebocoran informasi di internal KPK atau penggeledahan yang tak kunjung dilakukan, padahal izin sudah diberikan oleh Dewan Pengawas.
“Hilangnya nama-nama politisi dalam surat dakwaan KPK, penyelidikan ulang untuk mengusut kerugian keuangan negara. Padahal dengan modal penyidikan suap, pihak-pihak lain dapat dijerat,” cetus Kurnia.
Dalam perkaranya, mantan Mensos Juliari Peter Batubara didakwa menerima suap senilai Rp 32,48 miliar terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun anggaran 2020. Juliari dinilai memotong Rp 10 ribu dari setiap paket pengadaan bansos.
Adapun rincian uang yang diterima Juliari melalui Adi Wahyono dan Matheus Joko yakni, berasal dari konsultan Hukum Harry Van Sidabukke, senilai Rp 1,28 miliar. Kemudian dari Presiden Direktur PT Tigapilar Agro Utama, Ardian Iskandar Maddanatja, sejumlah Rp 1,95 miliar, serta sebesar Rp 29 miliar berasal dari para pengusaha penyedia barang lainnya.
Juliari Batubara didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.(suara)
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyampaikan, ada empat alasan sebelum tiba pada desakan tersebut. Pertama, saat melakukan kejahatan, Juliari mengemban jabatan sebagai pejabat publik.
“Maka, berdasarkan Pasal 52 KUHP, pemberatan hukuman mesti diakomodir oleh jaksa penuntut umum,” kata Kurnia dalam keterangannya, Selasa (27/7).
Kedua, Juliari melakukan praktik suap-menyuap di tengah kondisi wabah Covid-19 sedang melanda Indonesia. Praktik culas ini tentu tidak bisa dimaafkan, dapat dibayangkan, kala itu, empat hari sebelum operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada1 Desember 2020, setidaknya 543 ribu orang telah terinfeksi Covid-19 dan 17 ribu nyawa melayang.
Tidak hanya itu, Indonesia pun resmi resesi pada awal November. Sebagai Menteri Sosial, tentu Juliari memahami situasi tersebut,” ucap Kurnia.
Ketiga, saat proses persidangan berlangsung, Juliari belum pernah sekali pun mengakui perbuatannya. Padahal, pengadilan telah memutus bersalah pihak penyuap Juliari, salah satunya Ardian Iskandar.
Keempat, korupsi yang dilakukan Juliari langsung berdampak pada masyarakat. Mulai dari tidak mendapatkan bansos, kualitas bahan makanan buruk, hingga kuantitas penerimaan berbeda dengan masyarakat lain.
“Berangkat dari poin-poin di atas, jika KPK menuntut rendah Juliari, maka dugaan publik selama ini terkonfirmasi, yakni KPK ingin melindungi pelaku korupsi bansos,” tegas Kurnia.
Berdasarkan catatan ICW, proses penanganan korupsi bansos di KPK dapat dikategorikan sangat buruk. Betapa tidak, indikasi KPK akan melokalisir perkara agar berhenti pada Juliari sangat kuat.
” KPK sangat lambat memanggil beberapa politisi sebagai saksi. Padahal, politisi tersebut, berdasarkan fakta persidangan, menguasai 1,4 juta paket pada setiap tahapan, yakni Herman Herry 1 juta paket dan Ihsan Yunus 400 ribu paket,” ujar Kurnia.
Dia pun berujar, proses penggeledahan KPK seringkali tidak menghasilkan temuan apapun. Dugaannya mengerucut pada dua hal, yaitu kebocoran informasi di internal KPK atau penggeledahan yang tak kunjung dilakukan, padahal izin sudah diberikan oleh Dewan Pengawas.
“Hilangnya nama-nama politisi dalam surat dakwaan KPK, penyelidikan ulang untuk mengusut kerugian keuangan negara. Padahal dengan modal penyidikan suap, pihak-pihak lain dapat dijerat,” cetus Kurnia.
Dalam perkaranya, mantan Mensos Juliari Peter Batubara didakwa menerima suap senilai Rp 32,48 miliar terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun anggaran 2020. Juliari dinilai memotong Rp 10 ribu dari setiap paket pengadaan bansos.
Adapun rincian uang yang diterima Juliari melalui Adi Wahyono dan Matheus Joko yakni, berasal dari konsultan Hukum Harry Van Sidabukke, senilai Rp 1,28 miliar. Kemudian dari Presiden Direktur PT Tigapilar Agro Utama, Ardian Iskandar Maddanatja, sejumlah Rp 1,95 miliar, serta sebesar Rp 29 miliar berasal dari para pengusaha penyedia barang lainnya.
Juliari Batubara didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.(suara)