Mayoritas Negara Pengguna Vaksin China Alami Lonjakan Kasus, Diplomasi Vaksin Xi Jinping Gagal?
BACANEWS.ID - China menjadi salah satu produsen vaksin Covid-19 terbesar di dunia, dan telah memasok lebih dari 400 juta dosis ke berbagai negara, baik melalui bantuan maupun komersial.
Dengan banyaknya bantuan yang diberikan, diplomasi vaksin China layak diacungi jempol. Sebagai negara yang pertama yang mengidentifikasi Covid-19, China mengubah citranya menjadi negara penolong.
Namun diplomasi vaksin China terancam gagal dengan munculnya berbagai persoalan mengenai vaksin buatannya.
Dari laporan India Narrative pada Sabtu (17/7), sebagian besar negara pengguna vaksin Covid-19 "Made in China" seperti Sinovac dan Sinopharm saat ini justru tengah dilanda gelombang kedua.
Mulai dari Seychelles, Bahrain, Mongolia, Chili, hingga Indonesia yang menggunakan vaksin buatan China sebagai vaksin utama dilaporkan tengah menghadapi gelombang kedua Covid-19 yang mematikan.
Di Indonesia, rekor infeksi harian pecah pada Kamis (15/7), dengan 56.757 kasus Covid-19, dengan 982 kematian.
Keraguan terhadap efektivitas vaksin buatan China membuat sejumlah negara mempertimbangkan metode mencampur vaksin dan dosis booster.
Thailand sendiri sudah mengizinkan metode campur vaksin, dengan dosis pertama dari Sinovac dan dosis kedua dari AstraZeneca untuk meningkatkan keampuhan melawan virus.
Pertanyaan mengenai keampuhan vaksin buatan China juga membuat beberapa negara melarang pelancong dari negara-negara yang menggunakan vaksin tersebut untuk masuk.
Di samping itu, saat ini juga muncul persoalan mengenai harga yang ditawarkan China untuk vaksinnya.
Sebuah studi yang dilakukan Observer Research Foundation (ORF) menyebut, walaupun Presiden Xi Jinping telah menyebut vaksin buatan China sebagai barang publik global, namun nyatanya pendekatan dan harga yang ditawarkan oleh Beijing bias.
"Laporan tentang diplomasinya yang bersifat preferensial terhadap beberapa pihak telah menyebabkan banyak kegemparan. Agaknya, Sri Lanka membayar 15 dolar AS per dosis untuk Sinopharm, sementara Nepal dan Bangladesh hanya membayar 10 dolar AS per dosis," kata studi ORF.
Menurut ORF, dengan banyaknya tanda tanya terhadap vaksin buatan China justru memicu ketidakpercayaan global terhadap Beijing. [rmol]
Dengan banyaknya bantuan yang diberikan, diplomasi vaksin China layak diacungi jempol. Sebagai negara yang pertama yang mengidentifikasi Covid-19, China mengubah citranya menjadi negara penolong.
Namun diplomasi vaksin China terancam gagal dengan munculnya berbagai persoalan mengenai vaksin buatannya.
Dari laporan India Narrative pada Sabtu (17/7), sebagian besar negara pengguna vaksin Covid-19 "Made in China" seperti Sinovac dan Sinopharm saat ini justru tengah dilanda gelombang kedua.
Mulai dari Seychelles, Bahrain, Mongolia, Chili, hingga Indonesia yang menggunakan vaksin buatan China sebagai vaksin utama dilaporkan tengah menghadapi gelombang kedua Covid-19 yang mematikan.
Di Indonesia, rekor infeksi harian pecah pada Kamis (15/7), dengan 56.757 kasus Covid-19, dengan 982 kematian.
Keraguan terhadap efektivitas vaksin buatan China membuat sejumlah negara mempertimbangkan metode mencampur vaksin dan dosis booster.
Thailand sendiri sudah mengizinkan metode campur vaksin, dengan dosis pertama dari Sinovac dan dosis kedua dari AstraZeneca untuk meningkatkan keampuhan melawan virus.
Pertanyaan mengenai keampuhan vaksin buatan China juga membuat beberapa negara melarang pelancong dari negara-negara yang menggunakan vaksin tersebut untuk masuk.
Di samping itu, saat ini juga muncul persoalan mengenai harga yang ditawarkan China untuk vaksinnya.
Sebuah studi yang dilakukan Observer Research Foundation (ORF) menyebut, walaupun Presiden Xi Jinping telah menyebut vaksin buatan China sebagai barang publik global, namun nyatanya pendekatan dan harga yang ditawarkan oleh Beijing bias.
"Laporan tentang diplomasinya yang bersifat preferensial terhadap beberapa pihak telah menyebabkan banyak kegemparan. Agaknya, Sri Lanka membayar 15 dolar AS per dosis untuk Sinopharm, sementara Nepal dan Bangladesh hanya membayar 10 dolar AS per dosis," kata studi ORF.
Menurut ORF, dengan banyaknya tanda tanya terhadap vaksin buatan China justru memicu ketidakpercayaan global terhadap Beijing. [rmol]