Suami Istri Ini Terpaksa Jual Panci hingga Rice Cooker untuk Beli Beras akibat Terdampak PPKM
BACANEWS.ID - Dampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan PPKM Level 3 di Kabupaten Bandung Barat (KBB) dirasakan betul oleh pasangan suami istri Ruslan Permana (31) dan Novi Sovianti (33).
Perekonomian pasangan yang tinggal di Kampung Panagelan, RT 02/04, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, KBB, Jawa Barat, ini babak belur setelah adanya penerapan PPKM tersebut karena usahanya saat ini menjadi buntu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, keluarga yang tinggal di rumah sederhana milik orang tuanya itu terpaksa harus menjual berbagai alat rumah tangga dengan harga yang murah demi membeli beras untuk makan sehari-hari.
Novi mengatakan, dampak tersebut bermula saat suaminya, yang baru bekerja sebulan di Bali dengan iming-iming upah Rp 300 ribu per hari, akhir akhirnya harus diberhentikan pada Maret 2020.
"Sejak saat itu, suami saya selama delapan bulan di Bali tanpa ada kejelasan dan tanpa penghasilan. Hanya untuk biaya makan sehari-harinya juga cukup sulit," ujar Novi saat ditemui di rumahnya, Jumat (23/7/2021).
Setelah delapan bulan di Bali, kata Novi, suaminya pulang dan sempat merintis usaha penjualan stroberi dengan pemasaran ke konsumen di wilayah Jabodetabek.
Usaha itu bisa memenuhi kebutuhan keluarganya yang berjumlah delapan orang, termasuk dua anaknya yang tinggal di satu atap rumah yang berada di gang sempit itu.
"Tapi terdampak lagi kebijakan PPKM Darurat."
"Sejak saat itu tidak bisa kirim barang ke konsumen seperti ke Jakarta karena usaha di sana juga banyak yang tutup," katanya.
Kesusahan Novi semakin bertambah ketika ayahnya terkena stroke sejak dua bulan lalu.
Novi tidak bisa beraktivitas seperti biasanya karena harus menjaga ayahnya yang kini terbaring lemas di rumah yang rencananya akan dijual.
Kondisi itu membuat Novi dan suaminya kian sulit, apalagi di keluarganya tidak ada satu pun yang memiliki pekerjaan dan penghasilan tepat, sedangkan suaminya hanya buruh serabutan.
"Sekarang suami juga bisa kerja kalau ada yang nyuruh saja karena dia bisa nyetir, jadi bisa menjadi sopir," ucap Novi.
Akibat kesulitan perekonomian itu, Novi harus menjual barang rumah tangga hingga pakaian, seperti panci, helm, rice cooker, hingga yang teranyar menjual speaker yang dipajang di media sosial Facebook.
"Jual rice cooker Rp 5 ribu ke tukang rongsok."
"Kalau speaker Rp 50 ribu."
"Uangnya buat beli beras dan jajan anak-anak."
"Makanya saya netes air mata kalau anak minta jajan juga."
"Saya juga malu karena sering dikirim beras sama saudara," ujarnya.
Meski perekonomiannya sudah berada di ujung tanduk, ironisnya lagi, keluarga ini belum pernah mendapat uluran bantuan apa pun dari pemerintah karena salah satu masalahnya adalah domisili.
Sebab, meskipun ia dan keluarganya sudah dua tahun tinggal di Cisarua, Bandung Barat, kartu keluarganya (KK) masih Kota Cimahi.
"Bantuan gak ada selama pandemi Covid-19, katanya harus bikin surat pindah," kata Novi.
Rencananya, untuk ke depan, ia bakal menjual rumah yang saat ini ditinggalinya selama dua tahun terakhir.
Novi dan keluarganya akan tinggali kembali di Kota Cimahi untuk mencari peluang mendapatkan pundi-pundi rupiah.
"Mau pindah lagi ke Cimahi karena kalau di sana bisa jualan atau apa yang penting bisa melanjutkan hidup," ujarnya. (wartakota)
Perekonomian pasangan yang tinggal di Kampung Panagelan, RT 02/04, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, KBB, Jawa Barat, ini babak belur setelah adanya penerapan PPKM tersebut karena usahanya saat ini menjadi buntu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, keluarga yang tinggal di rumah sederhana milik orang tuanya itu terpaksa harus menjual berbagai alat rumah tangga dengan harga yang murah demi membeli beras untuk makan sehari-hari.
Novi mengatakan, dampak tersebut bermula saat suaminya, yang baru bekerja sebulan di Bali dengan iming-iming upah Rp 300 ribu per hari, akhir akhirnya harus diberhentikan pada Maret 2020.
"Sejak saat itu, suami saya selama delapan bulan di Bali tanpa ada kejelasan dan tanpa penghasilan. Hanya untuk biaya makan sehari-harinya juga cukup sulit," ujar Novi saat ditemui di rumahnya, Jumat (23/7/2021).
Setelah delapan bulan di Bali, kata Novi, suaminya pulang dan sempat merintis usaha penjualan stroberi dengan pemasaran ke konsumen di wilayah Jabodetabek.
Usaha itu bisa memenuhi kebutuhan keluarganya yang berjumlah delapan orang, termasuk dua anaknya yang tinggal di satu atap rumah yang berada di gang sempit itu.
"Tapi terdampak lagi kebijakan PPKM Darurat."
"Sejak saat itu tidak bisa kirim barang ke konsumen seperti ke Jakarta karena usaha di sana juga banyak yang tutup," katanya.
Kesusahan Novi semakin bertambah ketika ayahnya terkena stroke sejak dua bulan lalu.
Novi tidak bisa beraktivitas seperti biasanya karena harus menjaga ayahnya yang kini terbaring lemas di rumah yang rencananya akan dijual.
Kondisi itu membuat Novi dan suaminya kian sulit, apalagi di keluarganya tidak ada satu pun yang memiliki pekerjaan dan penghasilan tepat, sedangkan suaminya hanya buruh serabutan.
"Sekarang suami juga bisa kerja kalau ada yang nyuruh saja karena dia bisa nyetir, jadi bisa menjadi sopir," ucap Novi.
Akibat kesulitan perekonomian itu, Novi harus menjual barang rumah tangga hingga pakaian, seperti panci, helm, rice cooker, hingga yang teranyar menjual speaker yang dipajang di media sosial Facebook.
"Jual rice cooker Rp 5 ribu ke tukang rongsok."
"Kalau speaker Rp 50 ribu."
"Uangnya buat beli beras dan jajan anak-anak."
"Makanya saya netes air mata kalau anak minta jajan juga."
"Saya juga malu karena sering dikirim beras sama saudara," ujarnya.
Meski perekonomiannya sudah berada di ujung tanduk, ironisnya lagi, keluarga ini belum pernah mendapat uluran bantuan apa pun dari pemerintah karena salah satu masalahnya adalah domisili.
Sebab, meskipun ia dan keluarganya sudah dua tahun tinggal di Cisarua, Bandung Barat, kartu keluarganya (KK) masih Kota Cimahi.
"Bantuan gak ada selama pandemi Covid-19, katanya harus bikin surat pindah," kata Novi.
Rencananya, untuk ke depan, ia bakal menjual rumah yang saat ini ditinggalinya selama dua tahun terakhir.
Novi dan keluarganya akan tinggali kembali di Kota Cimahi untuk mencari peluang mendapatkan pundi-pundi rupiah.
"Mau pindah lagi ke Cimahi karena kalau di sana bisa jualan atau apa yang penting bisa melanjutkan hidup," ujarnya. (wartakota)