Moeldoko: Langkah Antikorupsi Presiden Jokowi Nyata
BACANEWS.ID - Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menanggapi tentang kritik sejumlah pihak terkait pidato Presiden Joko Widodo yang tak menyinggung masalah korupsi di Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus lalu.
Menurut Moeldoko, kritik itu sebaiknya dilihat dari tindakan yang diambil Kepala Negara selama ini. Karena menurut Moeldoko, sikap Presiden terhadap pemberantasan korupsi sudah jelas dan tegas.
"Saya sebenarnya, kita concern melihat actionnya, dari apa yang telah dilakukan pak Presiden dalam konteks apa itu korupsi ini. Jadi jangan hanya konsen kepada apa yang, apa itu dalam amanatnya," ujar Moeldoko saat menjawan pertanyaan wartawan di kantornya Gedung Bina Garaha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 18 Agustus 2021.
Menurut Moeldoko, bisa dilihat dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi selalu menekankan bahwa agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi jadi agenda besar pemerintah. Bahkan terkahir, Juli 2021, Kepala Negara memimpin sidang kabinet yang secara khusus menyinggung soal Indeks Persepsi Korupsi dan Pelayanan Publik.
Perhatian Presiden pula, kata Moeldoko, selalu diperingatkan di masa pandemi COVID-19 saat ini.
"(Ini) menjadi atensi yang serius bagi seluruh jajaran di kabinet," kata mantan Panglima TNI itu menegaskan.
Moeldoko juga menyatakan, komitmen Presiden akan pemerintahan yang bersih dan transparan dibuktikan dengan berbagai program dan proyek pemerintah melibatkan banyak lembaga seperti auditor negara hingga aparat hukum.
Belakangan juga, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi meresmikan layanan sistem berbasi daring atau sistem online single submission atau OSS untuk kepentingan permohonan izin usaha.
Hal itu semata - mata demi mempersempit celah suap dan memperbaiki iklim usaha di Indonesia.
"Jadi ini maksud saya perlu masyarakat paham bahwa langkah-langkah nyata terhadap pencegahan korupsi dan penindakan korupsi itu sangat-sangat jelas dijalankan oleh Presiden," kata Moeldoko.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan hilangnya pembahasan terkait pemberantasan korupsi dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR pada 16 Agustus 2021 tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah kian mengesampingkan komitmennya untuk memerangi kejahatan korupsi.
Pemerintah dinilai minim dalam menuntaskan tunggakan legislasi yang mendukung penguatan pemberantasan korupsi seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, hingga RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terbengkalai begitu saja, ditambah revisi UU KPK yang dianggap Pemerintah akan memperkuat lembaga antirasuah juga terbukti semakin mendegradasi performa KPK.
Selanjutnya, Pemerintah disebut abai dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum, misalnya dalam penanganan perkara yang penuh dengan konflik kepentingan di Kejaksaan Agung, menurunnya kinerja penindakan perkara korupsi di kepolisian, dan serangkaian kontroversi kebijakan komisioner KPK.
Terakhir, Pemerintah dianggap gagal dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik merujuk pada fenomena rangkap jabatan yang makin marak terjadi belakangan waktu terakhir.
Data Ombudsman RI pada 2019 menyebutkan setidaknya ada 397 komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan, padahal UU Pelayanan Publik secara jelas telah melarang praktik tersebut, bahkan ada mantan terpidana kasus korupsi menjadi komisaris anak perusahaan BUMN yaitu Emir Moeis.[viva]
Menurut Moeldoko, kritik itu sebaiknya dilihat dari tindakan yang diambil Kepala Negara selama ini. Karena menurut Moeldoko, sikap Presiden terhadap pemberantasan korupsi sudah jelas dan tegas.
"Saya sebenarnya, kita concern melihat actionnya, dari apa yang telah dilakukan pak Presiden dalam konteks apa itu korupsi ini. Jadi jangan hanya konsen kepada apa yang, apa itu dalam amanatnya," ujar Moeldoko saat menjawan pertanyaan wartawan di kantornya Gedung Bina Garaha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 18 Agustus 2021.
Menurut Moeldoko, bisa dilihat dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi selalu menekankan bahwa agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi jadi agenda besar pemerintah. Bahkan terkahir, Juli 2021, Kepala Negara memimpin sidang kabinet yang secara khusus menyinggung soal Indeks Persepsi Korupsi dan Pelayanan Publik.
Perhatian Presiden pula, kata Moeldoko, selalu diperingatkan di masa pandemi COVID-19 saat ini.
"(Ini) menjadi atensi yang serius bagi seluruh jajaran di kabinet," kata mantan Panglima TNI itu menegaskan.
Moeldoko juga menyatakan, komitmen Presiden akan pemerintahan yang bersih dan transparan dibuktikan dengan berbagai program dan proyek pemerintah melibatkan banyak lembaga seperti auditor negara hingga aparat hukum.
Belakangan juga, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi meresmikan layanan sistem berbasi daring atau sistem online single submission atau OSS untuk kepentingan permohonan izin usaha.
Hal itu semata - mata demi mempersempit celah suap dan memperbaiki iklim usaha di Indonesia.
"Jadi ini maksud saya perlu masyarakat paham bahwa langkah-langkah nyata terhadap pencegahan korupsi dan penindakan korupsi itu sangat-sangat jelas dijalankan oleh Presiden," kata Moeldoko.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan hilangnya pembahasan terkait pemberantasan korupsi dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR pada 16 Agustus 2021 tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah kian mengesampingkan komitmennya untuk memerangi kejahatan korupsi.
Pemerintah dinilai minim dalam menuntaskan tunggakan legislasi yang mendukung penguatan pemberantasan korupsi seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, hingga RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terbengkalai begitu saja, ditambah revisi UU KPK yang dianggap Pemerintah akan memperkuat lembaga antirasuah juga terbukti semakin mendegradasi performa KPK.
Selanjutnya, Pemerintah disebut abai dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum, misalnya dalam penanganan perkara yang penuh dengan konflik kepentingan di Kejaksaan Agung, menurunnya kinerja penindakan perkara korupsi di kepolisian, dan serangkaian kontroversi kebijakan komisioner KPK.
Terakhir, Pemerintah dianggap gagal dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik merujuk pada fenomena rangkap jabatan yang makin marak terjadi belakangan waktu terakhir.
Data Ombudsman RI pada 2019 menyebutkan setidaknya ada 397 komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan, padahal UU Pelayanan Publik secara jelas telah melarang praktik tersebut, bahkan ada mantan terpidana kasus korupsi menjadi komisaris anak perusahaan BUMN yaitu Emir Moeis.[viva]